“Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan”
Banyuwangi dalam catatan sejarah lebih dikenal dengan nama Blambangan/Belambangan. Dia menyimpan banyak mistis. Baik tentang sejarah, babad, maupun cerita-cerita yang dari mulut ke mulut terus berkembang bahkan menarik untuk dikaji dan diteliti baik dari sisi sejarah, budaya, maupun sosialnya.
Blambangan dibalik keindahan dan kesuburannya ternyata memiliki banyak sekali situs-situs purbakala yang seakan terabaikan dari perhatian masyarakat Banyuwangi sendiri. Ada beberapa situs purbakala yang mungkin kurang mendapat perhatian dari Pemkab Banyuwangi salah satunya adalah istana macan putih. Inilah jejak kerajaan Hindu terakhir di Jawa, Blambangan. Terletak sekitar 12 km barat daya Banyuwangi kota, kejayaan Blambangan pada XIII hingga abad XVIII nyaris luput dari sejarah nasional. Sepanjang mengenyam pendidikan sekolah tak kujumpai pembahasan khusus kerajaan Blambangan dalam buku mata pelajaran sejarah. Yang ada adalah Majapahit dan kawan-kawan yang selalu diulang-ulang dari jilid IV SD sampai menjelang khatam SMA. Bahkan murid sampai hafal apa yang dilakukan raja-raja itu ketika berburu di hutan, refreshing, dan melamun. Ck ck ck...(sambil leng-geleng kepala)
Kerajaan Blambangan malah populer sebagai legenda dan mitos. Damarwulan dan Minakjinggo hanyalah sebagai “cerita rakyat“ yang agak terkenal.
Bangunan bersejarah banyak yang mulai sulit diselamatkan. Seperti situs dan beberapa peninggalan bekas candi. Hampir seluruhnya tidak terawat dengan baik, termasuk peninggalan Kerajaan Macan Putih, di desa Macan Putih, kecamatan Kabat, dimana dulu dijadikan sebagai pusat Kerajaan Blambangan. Kini, sulit mencari sisa-sisa kerajaan Blambangan di masa Prabu Tawang Alun II itu *kasihan*. :(
Masyarakat sekitar banyak yang menjarah puing-puing kekayaan bekas situs Macan Putih. Mereka juga menumbuk batu bata menjadi pengganti semen yang kemudian dijual dengan harga IDR 100 ribu per biji batu bata itu *how creative they are… *.
Jumlah bangunan bersejarah di Banyuwangi diperkirakan mencapai seratus lebih. Bentuknya berupa peninggalan sejak jaman prasejarah hingga jaman kolonial, seperti Belanda, Inggris dan Jepang. Rata-rata kondisi bangunan tersebut mulai memprihatinkan. Seperti keberadaan Kampung Inggrisan (bangunan peninggalan kolonial Inggris) yang kondisinya kurang begitu terawat.
Melihat kondisi di lapangan dimana banyak situs yang kurang mendapat perhatian dari pihak-pihak terkait sudah selayaknya pemerintah lebih serius menangani warisan sejarah maupun budaya bagi generasi sekarang maupun yang akan datang.
Naaah! sekalian untuk menu appetizer wisatamu, perjalanan tulisan ini diawali dari beberapa peninggalan sejarah Banyuwangi itu, antara lain:
Makam para Bupati Banyuwangi
Tepat sebelah barat masjid Baiturrahman adalah makam-makam bupati Banyuwangi antara lain: Wiroguno II (1782-1818), Suronegoro (1818-1832), Wiryodono Adiningrat (1832-1867), Pringgokusumo (1867-1881), Astro Kusumo (1881-1889), sedangkan Bupati pertama Banyuwangi Mas Alit (1773-1781) gugur dan dimakamkan di Sedayu, Gresik. Hanya bajunya saja yang dikebumikan di taman pemakaman tersebut. Makam ini sering dipakai masyarakat untuk nyekar menjelang Ramadhan.
Penampakan berbaju kuning oranye pada foto disamping bukan makhluk halus melainkan sang mbaurekso alias juru kunci. Walau sudah tua, napasnya bebas asam urat, raut mukanya anti rematik. Namanya mbah Syukur *dari yakinku teguh, hati ikhlasku penuh…*. Dia meneruskan tradisi turun temurun keluarganya yaitu menjadi juru kunci makam para Bupati Banyuwangi. Howcome? Apakah dia punya indra keenam? Wallahu a’lam. Yang jelas kalau kamu tanya apakah dia pernah lihat penampakan di makam ini, maka dia akan menjawab, “sering, Bos!”. Terutama penampakan di makam Kanjeng Raden Tumenggung Pringgokusumo setinggi kurang lebih 2 meter. Pringgokusumo biasanya memberikan wejangan-wejangan hidup yang dititipkan kepada mbah Syukur. Nah, kalau kamu sudah punya indera keenam, kelak bisa nonton penampakan. Syukur-syukur ikutan ngopi bareng. :)
Saat tampak, beliau seringkali mengenakan pakaian ala Mataraman lengkap dengan atribut blangkon dan jubahnya. Tak ketinggalan kuda putihnya (BUSYET!!!). Kemana dia berkendara, Bos? Yah, kadang mudik ke Jogja, kadang refreshing ke Solo. Seringkali Pringgokusumo beserta raden-raden lain dari tlatah Mataraman kumpul rapat untuk silaturrahmi (baca: lesehan) di pendopo kabupaten Banyuwangi sekaligus membahas perkembangan masing-masing daerah dan korwil. Semacam rakernas gitu kali ya.
Pada 2010 menjelang pemilihan kepala daerah Banyuwangi, Emilia Contessa, salah satu calon Bupati menyambangi makam ini. Selain “nuwun sewu”, ibu kandung Denada ini ternyata masih keturunan dengan sang Pringgokusumo *ouch! sungkem critanya*. Juga beberapa bupati lain seperti Kang Anas, Purnomo Sidik, Samsul Hadi, Bu Ratna, dan sebagainya juga pernah menjamah makam ini. Denger-denger sih, kalau tidak menyambangi makam ini, kekuasaan akan runtuh karena pendiri pendopo adalah salah satu dari almarhum itu (so cool!).
Dari sekian makam tersebut, yang paling sering dikunjungi adalah makam Pringgokusumo karena beliau paling disegani diantara yang lain terutama oleh warga Bali, Madura, dan Jawa Mataraman. Untuk masuk ke makam ini, kamu bisa melewati gang kecil tepat di sebelah utara masjid Jami’ Agung Baiturrohman barat alun-alun/taman SriTanjung. Bisa juga lewat Jl. Losari, jembatan sebelah barat masjid, setelah pertigaan. HTM: Free, isi buku tamu: wajib, biaya pemeliharaan: sunnah.
Masjid Jami’ Baiturrohman
Adalah tanah wakaf dari masa Wiroguno I yang direhap pertama kali pada masa Raden Tumenggung Pringgokusumo. Dulu terdapat kaligrafi bertuliskan Allah Muhammad yang ditulis oleh Mas Muhammad Saleh dengan pengikutnya Mas Saelan. Mulai tahun 2006 sampai 2010 masjid ini dalam tahap renovasi dan menjadi salah satu aikon Banyuwangi pasca rampung (mungkin sekarang dah kelar). Tepat di sebelah barat pengimaman masjid inilah terdapat makam para Bupati Banyuwangi.
Sumur Sri Tanjung
Ditemukan pada masa Raden Tumenggung Notodiningrat (1912-1920). Terletak di timur Pendopo Kabupaten. Sri tanjung dan Sidopekso merupakan legenda turun-temurun yang merupakan kisah asmara dan kesetiaan yang merupakan cikal bakal Banyuwangi. Konon jika sewaktu-waktu air sumur berubah bau menjadi wangi maka itu akan menjadi suatu pertanda baik/buruk yang akan menimpa suatu daerah ataupun bangsa ini. Sepertinya Banyuwangi tidak perlu repot-repot pasang alat pendeteksi tsunami??#$%!!!
Sangat mudah untuk mencapai sumur Sri Tanjung karena lokasinya berdekatan dengan masjid agung, makam Bupati, dan taman Sri Tanjung, tepatnya di gang sebelah timur pendopo. Satu hal yang unik dari sumur ini adalah bentuknya persegi panjang dengan panjang sekitar 1,4 meter dan lebar 0,8 meter, serta dalam tak lebih dari 7 meter. Lebar tersebut sama dengan lebar gang yang kamu lewati untuk mencapai sumur Sri Tanjung karena sumur ini jadi satu dan dijaga oleh pemilik rumah sumur tersebut (nama penjaga: off the record).
Museum Blambangan & Art Shop
Museum Blambangan didirikan oleh Bupati Banyuwangi Djoko Supaat Selamet yang menjabat pada periode 1966-1978 di kompleks pendopo Kabupaten Banyuwangi. Pada 2004 museum direlokasi ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Di museum ini juga terdapat art shop. Koleksi yang dimiliki antara lain: Berbagai macam kain batik oling, contoh rumah adat Using, kain-kain dari masa lampau, replika seni musik angklung Banyuwangi, bermacam kitab kuno, aneka senjata perang, alat-alat musik peninggalan Belanda, replika Barong dan penari Gandrung, serta berbagai hasil kerajinan khas Banyuwangi. I’ve been there…
Museum Blambangan bersebelahan dengan DKB (Dewan Kesenian Blambangan) dan Paguyuban Jebeng Thulik (semacam putri dan putra wisata daerah) di Jl. Ahmad Yani. Kalau kamu beruntung, kamu akan menemukan beberapa penampakan dalam jepretan kameramu. Tapi sayang, no picture please... Harus pandai nyolong yak. Ehe…Tapi anu, biasanya sih penjaga tidak membolehi pengunjung ambil gambar tanpa ijin. Kadang minta ijin pun belum tentu dibolehi. Justeru kalau kamu ndak dibolehi, jangan lewatkan kesempatan mengabadikan momen penampakan. Nakal dikit boleh kok!
Tugu TNI 0032
Taman Makam pahlawan yang terletak di bibir pantai Boom merupakan sejarah pertempuran tentara laut NKRI yang dipimpin oleh Letnan Laut Sulaiman melawan AL, AD, dan AU Belanda pada tanggal 21 Juli 1947. Tugu tersebut disahkan oleh Presiden RI pertama, Bung Karno. Sebagai simbol TNI AL, pada ujung tugu ini terdapat jangkar. Selain itu, di taman ini juga terdapat beberapa replika kapal laut. Lebih kecil daripada monumen kapal selam di Surabaya.
Benteng Ultrech (Kodim)
Berada di batas selatan markas Kodim, dulu terdapat rumah nuansa Portugis yang dijadikan sebagai tempat pengintaian Belanda terhadap gerak-gerik orang Blambangan di pendopo pada masa pemerintahan Mas Alit.
Inggrisan
Dibangun oleh Belanda sekitar 1766-1811, yang luasnya sekitar satu hektar, merupakan markas yang dulunya bernama Singodilaga, kemudian diganti dengan nama Loji (Inggris: Lodge = penginapan/pintu penjagaan) yang disekitarnya dibangun lorong-lorong terhubung dengan Kali Lo (Selatan), dan Boom (Timur) akhirnya diserahkan kepada Inggris setelah Belanda kalah perang (Margono. 2007), sementara di daerah selatan berupa perkantoran yang disebut Bire (Sekarang Telkom) dan kantor pos. Di daerah tersebut pernah terjadi peristiwa yang hampir mirip dengan peristiwa di hotel Yamato, Surabaya, yaitu orang-orang Blambangan dengan berani merobek bendera belanda yang berwarna merah putih biru menjadi merah putih saja (WAW!!!).
Depan Inggrisan terdapat Tegal Loji, perkampungan Belanda terletak di sebelah selatannya, sementara disisi timurnya adalah Benteng Ultrech dan tempat penimbunan kayu gelondongan (sekarang Gedung Wanita) sebelah utara dulu sebagai kantor regent dan garasi kuda mayat (sekarang Bank Jatim). Perumahan Kodim sekarang, dulu merupakan markas polisi Jepang/kompetoi lalu pada jaman Belanda dijadikan perumahan svout.
Kampoeng Arab
(no pictures available for Kampoeng Arab)
Kalau di Surabaya ada kawasan wisata religi Sunan Ampel dengan mayoritas penduduk keturunan Arab, di Banyuwangi terdapat Lateng, sebuah kelurahan yang terkenal dengan julukan Kampoeng Arab. Hampir sama dengan kawasan wisata Ampel, mayoritas penduduk di Lateng dulunya adalah pedagang dari Arab dan Yaman. Disini terdapat salah satu Waliyullah keturunan Arab Saudi yang banyak di kunjungi peziarah dari dalam dan luar Banyuwangi, yaitu makam Datuk Malik Ibrahim*masih saudarakah dengan Sunan Ampel?*.
Ketika aku mengikuti sebuah napak tilas bersama temen-temen dari Untag Banyuwangi, makam ini masuk salah satu agenda kunjungan selain makam Buyut Atika (ibunda sunan Giri) di kecamatan Giri dan pondok pesantren tua (lengkap dengan bangunan lawas) Darun Najah.
Tak jauh dari Kampung Arab terdapat Kampung Mandar yang dihuni oleh para kaum pendatang. Mereka kebanyakan Madura, Bugis, dan suku asli Using. Jadilah kampung ini paling rumit, apalagi kalau sedang muncul konflik wong meduro dengan lare using. Yang satu bahasa meduroan, dibalas dengan usingan, dilerai oleh wong jowo alus, disaksikan oleh orang Bugis, sedang yang di Bali sudah nggak mau tau. Lah, orang Arab malah sibuk merapikan jenggot…
Konco Hoo Tong Bio
Terletak di Pecinan kecamatan kota Banyuwangi. Pada waktu terjadi pembantaian orang-orang Cina oleh VOC di Batavia, seorang yang bernama Tan Hu Cin Jin dari dratan Cina menaiki perahu bertiang satu. Perahu tersebut kandas di sekitar pakem dan Tan Hu Cin Jin memutuskan menetap di wilayah Banyuwangi. Untuk mengenang peristiwa tersebut, didirikanlah klenteng Hoo Tong Bio. Setiap tanggal 1 bulan Ciu Gwee (kalender cina), pada tengah malam sebelum tahun baru diadakan sembahyang bersama. Dalam acara tahun baru Imlek kesenian barong Said an Kong-kong ditampilkan, kemudian Cap Go Mee dirayakan pada hari ke 15 sesudah tahun baru Imlek, dengan mengarak patung yang Maha Kong Co Tan Hu Cin Jin keliling disekitar kampung pecinan. Hal ini dimaksudkan untuk menolak bala’ dan mengharap berkah kepada Tuhan *xie-xie*. Acara ini dimeriahkan dengan tarian barongsai dan berbagai kesenian daerah lainnya. Makanan khas yang disajikan adalah lontong Cap Go Mee.
(dari berbagai sumber, Foto: dokumentasi pribadi)
Banyuwangi dalam catatan sejarah lebih dikenal dengan nama Blambangan/Belambangan. Dia menyimpan banyak mistis. Baik tentang sejarah, babad, maupun cerita-cerita yang dari mulut ke mulut terus berkembang bahkan menarik untuk dikaji dan diteliti baik dari sisi sejarah, budaya, maupun sosialnya.
Blambangan dibalik keindahan dan kesuburannya ternyata memiliki banyak sekali situs-situs purbakala yang seakan terabaikan dari perhatian masyarakat Banyuwangi sendiri. Ada beberapa situs purbakala yang mungkin kurang mendapat perhatian dari Pemkab Banyuwangi salah satunya adalah istana macan putih. Inilah jejak kerajaan Hindu terakhir di Jawa, Blambangan. Terletak sekitar 12 km barat daya Banyuwangi kota, kejayaan Blambangan pada XIII hingga abad XVIII nyaris luput dari sejarah nasional. Sepanjang mengenyam pendidikan sekolah tak kujumpai pembahasan khusus kerajaan Blambangan dalam buku mata pelajaran sejarah. Yang ada adalah Majapahit dan kawan-kawan yang selalu diulang-ulang dari jilid IV SD sampai menjelang khatam SMA. Bahkan murid sampai hafal apa yang dilakukan raja-raja itu ketika berburu di hutan, refreshing, dan melamun. Ck ck ck...(sambil leng-geleng kepala)
Kerajaan Blambangan malah populer sebagai legenda dan mitos. Damarwulan dan Minakjinggo hanyalah sebagai “cerita rakyat“ yang agak terkenal.
Bangunan bersejarah banyak yang mulai sulit diselamatkan. Seperti situs dan beberapa peninggalan bekas candi. Hampir seluruhnya tidak terawat dengan baik, termasuk peninggalan Kerajaan Macan Putih, di desa Macan Putih, kecamatan Kabat, dimana dulu dijadikan sebagai pusat Kerajaan Blambangan. Kini, sulit mencari sisa-sisa kerajaan Blambangan di masa Prabu Tawang Alun II itu *kasihan*. :(
Masyarakat sekitar banyak yang menjarah puing-puing kekayaan bekas situs Macan Putih. Mereka juga menumbuk batu bata menjadi pengganti semen yang kemudian dijual dengan harga IDR 100 ribu per biji batu bata itu *how creative they are… *.
Jumlah bangunan bersejarah di Banyuwangi diperkirakan mencapai seratus lebih. Bentuknya berupa peninggalan sejak jaman prasejarah hingga jaman kolonial, seperti Belanda, Inggris dan Jepang. Rata-rata kondisi bangunan tersebut mulai memprihatinkan. Seperti keberadaan Kampung Inggrisan (bangunan peninggalan kolonial Inggris) yang kondisinya kurang begitu terawat.
Melihat kondisi di lapangan dimana banyak situs yang kurang mendapat perhatian dari pihak-pihak terkait sudah selayaknya pemerintah lebih serius menangani warisan sejarah maupun budaya bagi generasi sekarang maupun yang akan datang.
Naaah! sekalian untuk menu appetizer wisatamu, perjalanan tulisan ini diawali dari beberapa peninggalan sejarah Banyuwangi itu, antara lain:
Makam para Bupati Banyuwangi
Tepat sebelah barat masjid Baiturrahman adalah makam-makam bupati Banyuwangi antara lain: Wiroguno II (1782-1818), Suronegoro (1818-1832), Wiryodono Adiningrat (1832-1867), Pringgokusumo (1867-1881), Astro Kusumo (1881-1889), sedangkan Bupati pertama Banyuwangi Mas Alit (1773-1781) gugur dan dimakamkan di Sedayu, Gresik. Hanya bajunya saja yang dikebumikan di taman pemakaman tersebut. Makam ini sering dipakai masyarakat untuk nyekar menjelang Ramadhan.
Penampakan berbaju kuning oranye pada foto disamping bukan makhluk halus melainkan sang mbaurekso alias juru kunci. Walau sudah tua, napasnya bebas asam urat, raut mukanya anti rematik. Namanya mbah Syukur *dari yakinku teguh, hati ikhlasku penuh…*. Dia meneruskan tradisi turun temurun keluarganya yaitu menjadi juru kunci makam para Bupati Banyuwangi. Howcome? Apakah dia punya indra keenam? Wallahu a’lam. Yang jelas kalau kamu tanya apakah dia pernah lihat penampakan di makam ini, maka dia akan menjawab, “sering, Bos!”. Terutama penampakan di makam Kanjeng Raden Tumenggung Pringgokusumo setinggi kurang lebih 2 meter. Pringgokusumo biasanya memberikan wejangan-wejangan hidup yang dititipkan kepada mbah Syukur. Nah, kalau kamu sudah punya indera keenam, kelak bisa nonton penampakan. Syukur-syukur ikutan ngopi bareng. :)
Saat tampak, beliau seringkali mengenakan pakaian ala Mataraman lengkap dengan atribut blangkon dan jubahnya. Tak ketinggalan kuda putihnya (BUSYET!!!). Kemana dia berkendara, Bos? Yah, kadang mudik ke Jogja, kadang refreshing ke Solo. Seringkali Pringgokusumo beserta raden-raden lain dari tlatah Mataraman kumpul rapat untuk silaturrahmi (baca: lesehan) di pendopo kabupaten Banyuwangi sekaligus membahas perkembangan masing-masing daerah dan korwil. Semacam rakernas gitu kali ya.
Pada 2010 menjelang pemilihan kepala daerah Banyuwangi, Emilia Contessa, salah satu calon Bupati menyambangi makam ini. Selain “nuwun sewu”, ibu kandung Denada ini ternyata masih keturunan dengan sang Pringgokusumo *ouch! sungkem critanya*. Juga beberapa bupati lain seperti Kang Anas, Purnomo Sidik, Samsul Hadi, Bu Ratna, dan sebagainya juga pernah menjamah makam ini. Denger-denger sih, kalau tidak menyambangi makam ini, kekuasaan akan runtuh karena pendiri pendopo adalah salah satu dari almarhum itu (so cool!).
Dari sekian makam tersebut, yang paling sering dikunjungi adalah makam Pringgokusumo karena beliau paling disegani diantara yang lain terutama oleh warga Bali, Madura, dan Jawa Mataraman. Untuk masuk ke makam ini, kamu bisa melewati gang kecil tepat di sebelah utara masjid Jami’ Agung Baiturrohman barat alun-alun/taman SriTanjung. Bisa juga lewat Jl. Losari, jembatan sebelah barat masjid, setelah pertigaan. HTM: Free, isi buku tamu: wajib, biaya pemeliharaan: sunnah.
Masjid Jami’ Baiturrohman
Adalah tanah wakaf dari masa Wiroguno I yang direhap pertama kali pada masa Raden Tumenggung Pringgokusumo. Dulu terdapat kaligrafi bertuliskan Allah Muhammad yang ditulis oleh Mas Muhammad Saleh dengan pengikutnya Mas Saelan. Mulai tahun 2006 sampai 2010 masjid ini dalam tahap renovasi dan menjadi salah satu aikon Banyuwangi pasca rampung (mungkin sekarang dah kelar). Tepat di sebelah barat pengimaman masjid inilah terdapat makam para Bupati Banyuwangi.
Sumur Sri Tanjung
Ditemukan pada masa Raden Tumenggung Notodiningrat (1912-1920). Terletak di timur Pendopo Kabupaten. Sri tanjung dan Sidopekso merupakan legenda turun-temurun yang merupakan kisah asmara dan kesetiaan yang merupakan cikal bakal Banyuwangi. Konon jika sewaktu-waktu air sumur berubah bau menjadi wangi maka itu akan menjadi suatu pertanda baik/buruk yang akan menimpa suatu daerah ataupun bangsa ini. Sepertinya Banyuwangi tidak perlu repot-repot pasang alat pendeteksi tsunami??#$%!!!
Sangat mudah untuk mencapai sumur Sri Tanjung karena lokasinya berdekatan dengan masjid agung, makam Bupati, dan taman Sri Tanjung, tepatnya di gang sebelah timur pendopo. Satu hal yang unik dari sumur ini adalah bentuknya persegi panjang dengan panjang sekitar 1,4 meter dan lebar 0,8 meter, serta dalam tak lebih dari 7 meter. Lebar tersebut sama dengan lebar gang yang kamu lewati untuk mencapai sumur Sri Tanjung karena sumur ini jadi satu dan dijaga oleh pemilik rumah sumur tersebut (nama penjaga: off the record).
Museum Blambangan & Art Shop
Museum Blambangan didirikan oleh Bupati Banyuwangi Djoko Supaat Selamet yang menjabat pada periode 1966-1978 di kompleks pendopo Kabupaten Banyuwangi. Pada 2004 museum direlokasi ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Di museum ini juga terdapat art shop. Koleksi yang dimiliki antara lain: Berbagai macam kain batik oling, contoh rumah adat Using, kain-kain dari masa lampau, replika seni musik angklung Banyuwangi, bermacam kitab kuno, aneka senjata perang, alat-alat musik peninggalan Belanda, replika Barong dan penari Gandrung, serta berbagai hasil kerajinan khas Banyuwangi. I’ve been there…
Museum Blambangan bersebelahan dengan DKB (Dewan Kesenian Blambangan) dan Paguyuban Jebeng Thulik (semacam putri dan putra wisata daerah) di Jl. Ahmad Yani. Kalau kamu beruntung, kamu akan menemukan beberapa penampakan dalam jepretan kameramu. Tapi sayang, no picture please... Harus pandai nyolong yak. Ehe…Tapi anu, biasanya sih penjaga tidak membolehi pengunjung ambil gambar tanpa ijin. Kadang minta ijin pun belum tentu dibolehi. Justeru kalau kamu ndak dibolehi, jangan lewatkan kesempatan mengabadikan momen penampakan. Nakal dikit boleh kok!
Tugu TNI 0032
Taman Makam pahlawan yang terletak di bibir pantai Boom merupakan sejarah pertempuran tentara laut NKRI yang dipimpin oleh Letnan Laut Sulaiman melawan AL, AD, dan AU Belanda pada tanggal 21 Juli 1947. Tugu tersebut disahkan oleh Presiden RI pertama, Bung Karno. Sebagai simbol TNI AL, pada ujung tugu ini terdapat jangkar. Selain itu, di taman ini juga terdapat beberapa replika kapal laut. Lebih kecil daripada monumen kapal selam di Surabaya.
Benteng Ultrech (Kodim)
Berada di batas selatan markas Kodim, dulu terdapat rumah nuansa Portugis yang dijadikan sebagai tempat pengintaian Belanda terhadap gerak-gerik orang Blambangan di pendopo pada masa pemerintahan Mas Alit.
Inggrisan
Dibangun oleh Belanda sekitar 1766-1811, yang luasnya sekitar satu hektar, merupakan markas yang dulunya bernama Singodilaga, kemudian diganti dengan nama Loji (Inggris: Lodge = penginapan/pintu penjagaan) yang disekitarnya dibangun lorong-lorong terhubung dengan Kali Lo (Selatan), dan Boom (Timur) akhirnya diserahkan kepada Inggris setelah Belanda kalah perang (Margono. 2007), sementara di daerah selatan berupa perkantoran yang disebut Bire (Sekarang Telkom) dan kantor pos. Di daerah tersebut pernah terjadi peristiwa yang hampir mirip dengan peristiwa di hotel Yamato, Surabaya, yaitu orang-orang Blambangan dengan berani merobek bendera belanda yang berwarna merah putih biru menjadi merah putih saja (WAW!!!).
Depan Inggrisan terdapat Tegal Loji, perkampungan Belanda terletak di sebelah selatannya, sementara disisi timurnya adalah Benteng Ultrech dan tempat penimbunan kayu gelondongan (sekarang Gedung Wanita) sebelah utara dulu sebagai kantor regent dan garasi kuda mayat (sekarang Bank Jatim). Perumahan Kodim sekarang, dulu merupakan markas polisi Jepang/kompetoi lalu pada jaman Belanda dijadikan perumahan svout.
Kampoeng Arab
(no pictures available for Kampoeng Arab)
Kalau di Surabaya ada kawasan wisata religi Sunan Ampel dengan mayoritas penduduk keturunan Arab, di Banyuwangi terdapat Lateng, sebuah kelurahan yang terkenal dengan julukan Kampoeng Arab. Hampir sama dengan kawasan wisata Ampel, mayoritas penduduk di Lateng dulunya adalah pedagang dari Arab dan Yaman. Disini terdapat salah satu Waliyullah keturunan Arab Saudi yang banyak di kunjungi peziarah dari dalam dan luar Banyuwangi, yaitu makam Datuk Malik Ibrahim*masih saudarakah dengan Sunan Ampel?*.
Ketika aku mengikuti sebuah napak tilas bersama temen-temen dari Untag Banyuwangi, makam ini masuk salah satu agenda kunjungan selain makam Buyut Atika (ibunda sunan Giri) di kecamatan Giri dan pondok pesantren tua (lengkap dengan bangunan lawas) Darun Najah.
Tak jauh dari Kampung Arab terdapat Kampung Mandar yang dihuni oleh para kaum pendatang. Mereka kebanyakan Madura, Bugis, dan suku asli Using. Jadilah kampung ini paling rumit, apalagi kalau sedang muncul konflik wong meduro dengan lare using. Yang satu bahasa meduroan, dibalas dengan usingan, dilerai oleh wong jowo alus, disaksikan oleh orang Bugis, sedang yang di Bali sudah nggak mau tau. Lah, orang Arab malah sibuk merapikan jenggot…
Konco Hoo Tong Bio
Terletak di Pecinan kecamatan kota Banyuwangi. Pada waktu terjadi pembantaian orang-orang Cina oleh VOC di Batavia, seorang yang bernama Tan Hu Cin Jin dari dratan Cina menaiki perahu bertiang satu. Perahu tersebut kandas di sekitar pakem dan Tan Hu Cin Jin memutuskan menetap di wilayah Banyuwangi. Untuk mengenang peristiwa tersebut, didirikanlah klenteng Hoo Tong Bio. Setiap tanggal 1 bulan Ciu Gwee (kalender cina), pada tengah malam sebelum tahun baru diadakan sembahyang bersama. Dalam acara tahun baru Imlek kesenian barong Said an Kong-kong ditampilkan, kemudian Cap Go Mee dirayakan pada hari ke 15 sesudah tahun baru Imlek, dengan mengarak patung yang Maha Kong Co Tan Hu Cin Jin keliling disekitar kampung pecinan. Hal ini dimaksudkan untuk menolak bala’ dan mengharap berkah kepada Tuhan *xie-xie*. Acara ini dimeriahkan dengan tarian barongsai dan berbagai kesenian daerah lainnya. Makanan khas yang disajikan adalah lontong Cap Go Mee.
(dari berbagai sumber, Foto: dokumentasi pribadi)