Pages

Thursday, April 28, 2011

SEASON 1 chapter 1 (Along Long Way)

BWI-SBY-SMG-Jogja-Singapur-Batam-Pekanbaru-Bukittinggi-Medan-JKT-SBY-pulang ke BWI lagi
(by: Single Fighter)
Kepanjangan ya ??? namanya juga long trip. Maunya sih tak tambah KL ma Bangkok, tapi lagi kere…nunggu beasiswa berikutnya cair lagi (jyahhh). Anyway, tak ada maksud lebay sedikitpun dalam hati dengan atribut fighter, tapi kalau single aku memang iya. LHO….ah
Sudah lama beritikad baik mengadakan perjalanan sendirian setelah ngiler nonton film-film discovery dan baca buku novel  traveling, akhirnya setelah berhari-hari pressing modem 24 jam sehari 7 hari seminggu buat surf tiket promo, hasratku tersampaikan!! Berawal dari rasa sedikit jenuh  keliling Banyuwangi, dan butuh energizer yang sedikit challenging aku niat istirahat sebentar dari posting blog. Sebentar kan ku tinggalkan blogku tuk merasakan jadi TKI sekaligus gelandangan. Sebenarnya rame-rame lebih asik, tapi wallahu a’lam semua teman-temanku sibuk dengan bisnis mereka :(
Tepatnya dua bulan yang lalu aku mengawali trip ini hitchhiking ke Surabaya naik kereta sendirian (hitchhike kereta? ngak skalian psawat?!!!). It’s totally Free!! alias gak mbayar (dengan beban mental dan fisik tentunya karena ngumpet di dalam toilet Sritanjung setiap ada pemeriksaan tiket). I like it :p Pssst! dilarang meniru adegan ini *tanpa didampingi yang berpengalaman
Tiba di Surabaya mampir ke kos sehari, esoknya langsung dianter Brian ke halte Bamburuncing tuk nyegat angkot. Berharap ada truk tuk hitchhike lagi, yang lewat malah bis. Okelah, fine. Cuma ngrogoh tigarebu perak ndak masalah. Next stopàBungurasih(terminal Purabaya)
14.40 WIB
Turun dari biskota langsung dijemput oleh para ojek, taksi, supir angkot dan calo yang berharap-harap cemas dapat klien.  Kebayang mereka paparazzi yang menghantamku dengan kilatan cahaya kejut dikanan kiri dan “karpet merah” telanjang menyambut didepanku begitu ku turun. EHM!!! That’s so Hollywood.
Sayang celanaku pendek, kaosku oblong, dan ranselku kumuh. Tapi topi hitamku lumayan atraktif menarik perhatian mereka. Seorang pemuda menghampiriku,
“Bali, Mas? Bandung? Jakarta?”. Aku diam.
“Mas, tujuannya kemana? Bali?”. Aku masih diam.
“Mas?”. Aku menoleh kebawah lalu kedepan mengikuti penumpang lain menuju gerbang masuk peron. Dia terus mengikutiku
“Mau ke Bali ya?”. Hmmm, jadi tambah risih. Aku tatap matanya, “SINGAPUR!”. Dia berhenti merayu calon kliennya, aku terus jalan mendekati gerbang.
Aku mek takok, COK!!! (I’m just asking you, fu**ing ASSH*LE!!!), kurang lebih begitu. (satu-kosong!) I got BIG ZONK
14.50 WIB
Beruntung rasanya dapat bis kelas ekonomi  yang penuh sejak dari dalam terminal. It means langsung berangkat dan aku berharap takkan tiba di Semarang tengah malam. Jadi Ali bisa jemput aku di terminal Terboyo.  I’d been sleeping for 2 hours on the way. Bangun tidur sudah bisa ngobrol dengan partnerku di kursi sebelah. Dia dari Bojonegoro kerja di Gedangan, Sidoarjo. Tujuan ke Babat. That’s it! Well, rasa kacang asongan ini lebih berharga ketimbang mendengarkan ceramahnya tentang Bojonegoro!
00.58
Lampu merah. Aku paham apa yang akan dilakukan kernet bis. Menyuruh penumpang turun. Ya, aku tiba di terminal Terboyo ketika baru membuka mataku dan merasakan cacing-cacing diperutku mulai unjuk rasa menuntut keadilan! Aku turun, warung tenda diluar sana menyediakan santapan jasmani (sik asiiiiiiik!!!). Aku meraih nasi kucing dengan lauk ikan teri dan sebotol Club (bukan Aqua) sambil ngobrol dengan penjaga warung berharap dapat informasi tumpangan gratis. Tapi sayang sekali, jam segini sudah tidak ada angkot ke Mangkang (dengan menyesal aku menerima SMS Ali agar aku meluncur ke Mangkang saja karena dia sudah dikos). Lepas dari rasa suudzonku kepada penjaga warung yang sekongkol dengan tukang ojek, ya sudahlah, aku hibahkan IDR 30.000 tuk ngojek ke pasar Mangkang :(
01.20
Setiba dipasar Mangkang yang lebih tepat disebut pasar malam yang gagal migrasi, aku telpon Ali. Aku disuruh ganti ojek saja. What the heaven you mean, Ali??? ngojek Terboyo-Mangkang tuh nggak deket. Ya sutralah, aku harus naik ojek lagi menuju tempat yang Ali maksud, gang udang.
“Tanya aja penjual di pasar, rumah pak Sururi, mereka semua udah tau”. Oke, lalu aku menyimpulkan pak Sururi adalah juragan udang yang tinggal disekitar sini dan menjual grosir petis di pasar ini. Tapi kenapa aku harus naik ojek? Setelah berputar-putar keliling pasar aku nemu satu ojek (hanya satu buah ojek!). Dia bersedia mengantarku menuju gang udang. And u know what?! Ternyata gang udang adalah gang tepat diseberang pangkalan ojek. Tak ada gang udang lain selain yang satu ini. Hm, sepertinya aku harus konfirmasi ke Ali, apakah benar ini tempat yang aku tuju. Aku suruh Ali ngomong ke pak ojek. Satu menit mereka berdua saling meyakinkan. Hanya aku yang tampak cemas. Angin pagi mulai membabi buta. Badanku menggigil, pikiranku terbang, khawatir akan keselamatan nyawaku. Halllah!! 
Pasrah saja…Pak ojek mengembalikan hape padaku. “Oh, ini masih masuk mas, nanti nyebrang rel sepur. Terus sekitar dua kiloan. Rumahnya dekat masjid”. Okelah, karena hari sudah mulai larut fajar, tak ada tawar menawar. Keburu maghrib. Bahkan aku lupa menanyakan tarif ojek.. :(
Aku pikir perjalanan ngojek ini akan sangat membosankan. Selama perjalanan, aku diajak ngobrol sama mas ojek, namanya mas Agus. Hm, baru kali ini aku kenal nama tukang ojek (swit swiiiiiiiiiiiiit!). Aku pikir dia baik, dia banyak cerita tentang Mangkang karena dia juga tahu bahwa aku belum pernah kesini sebelumnya. Dulu, katanya, Mangkang ini daerah pesisir yang panjang. Sekarang sudah tergerus karena abrasi.
“Mungkin beberapa tahun lagi daerah ini hilang mas, yang diujung sana aja sudah hampir habis, tanahnya ambles”. Dia menambahkan, untuk mencapai tempat yang aku tuju harus memutar dulu ke desa sebelah karena banjir lumpur didepan tak bisa detembus oleh sepeda motor. Licin…lagipula siapa yang mau menembus tempat gelap mirip hutan dipinggir sawah tengah malam gini... Sudah gelap, sepi pula! Akhirnya perjalanan di pagi buta semakin panjang karena harus belok kiri, kanan, kanan, dan kiri lagi, lalu belok lagi.
Obrolan dengan mas Agus semakin asik pula ketika perjalanan kami membelah persawahan. GOD! This is uapik tenan! Kami di tengah sawah maha luas melawati jalan kecil. Tak ada seorangpun selain kami berdua. Purnama masih sembunyi. Sunyi. Yang ada hanya miliaran bintang menempel dilangit. Indah…aku nikmati bersama mas agus. Ingat! kala ada dua manusia ditempat sunyi maka ketiganya adalah setan (lohhh?!)
02.35
“Aku didepan gang kutuk!”
“Wah, aku lupa nama gangnya apa pokoknya kalau kamu berdiri membelakangi masjid berarti gangnya kiri jalan”.
“Iya, ini nama gangnya gang kutuk!”
“Ya pokoknya sebelah kiri, berarti ya yang itu”.
Ibu yang dari tadi mengintipklu menutup jendela dan mematikan lampu. Ya sudahlah, aku bayar billing ojek dulu. Mas Agus kembali, aku sendirian. Tak ada suara lain, kodok dan jangkrik sedang malas bernyanyi karena jalanan super becek. Hanya sayup langkahku mengurangi ketidakpastian. Aku cari aman. Kuketuk pintu rumah ibu yang tadi mengintipku. Berharap bisa dapat informasi atau paling tidak, kalau aku ternyata nyasar bisa numpang tidur dirumahnya hari ini...i hope so :(
Dia keluar,
“Permisi Bu, rumahnya pak Sururi sebelah mana ya?”
“Oalaaaaah, work camp ya?”
Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit! wait a second! tunggu, tunggu... Aku masih nggak ngeh, Ibu gemuk itu bilang work camp, terkesan semacam magic word, kind of symbol, the name of code, the immortal PIN, outstanding morse, Demi cari aman, aku mengiyakan, “Iya”.
“Sini saya antar.”
YES!!! I DID IT. Ibu magic word ini mengantarku menuju rumah pak Sururi sambil memperkenalkan namanya, “Saya Mamak.”
“Saya Adi.” Oh, ternyata namanya Mamak. Oke, nickname yang keren: “Mamak, the Magic Word in the Work Camp Land”.
Perjalanan berakhir pada rumah ketiga kiri jalan di gang kutuk. Aku diantar masuk oleh Mamak.
“Makasih, Mak.”
Di ruang tamu ini berisi belasan bule yang tidur berserakan beralas karpet dan sleeping bag. Ada empat bule yang masih hidup.
“Hi,”
“Hello, good morning,”
“Morning.”
Seorang bule yang sedang menghadap laptop menyapaku yang baru kuketahui kemudian namanya adalah Kaizawa dari Jepang. I was Shocked!. Cari aman saja. Aku Tanya dimana toilet. Aku diantar oleh bule yang kuketahui kemudian namanya Joker dari Hongkong. 

Hello, I’m Adi from Indonesia. Aku langsung ambil tempat di pojok, lalu tidur beralas karpet merah (03.00 WIB).
Next Day: The Outsider
Hari ini aku diajak menanam mangrove di pesisir Mangkang bersama suami Mamak, the Magic Word in the Work Camp Land. Ternyata wajah Mamak sering nongol di tipi swasta berkali-kali. Dia ahli membuat kue mangrove.
Benar kata mas Agus, kawasan ini butuh pelestarian. Akhirnya aku ikut para bule-bule itu  ke pantai Mangkang untuk tanam mangrove. Aku tidak ikut terjun karena diminta tolong Ali dan Noni menyiapkan makanan untuk makan siang para bule. Aku balik ke rumah The Mr. Sururi Code bantu Noni siapkan makan siang didapur. Trik yang bagus, ternyata aku hanya disuruh cuci piring!!!
Tak berhenti disitu, aku jadi panitia dadakan gara-gara kekurangan tim driver. It doesn’t matter I’m outsider. Toh ndak ada yang tahu latar belakang pengalamanku dalam hal driving. Jadilah aku supir dadakan yang belum pernah belajar nyetir mobil secara resmi. Hanya otodidak yang berhasil menghancurkan kandang ayam samping rumahku. Kadang aku lupa diantara ketiga pijakan itu mana gas, rem, dan mana kopleng. Tapi aku berhasil keliling Semarang menggunakan APV mengangkut belasan nyawa para bule. Bahkan aku sempat tegang ketika masuk pom bensin untuk isi bensin. Dengan polos aku bilang, “ini mobil pinjaman, Mas” dengan maksud cari aman tentunya biar gak kena marah karena sering menelan omelan tukang parkir. Sebagai supir, aku baru tahu ternyata kalau mengisi bensin itu harus pakai kunci mobil untuk membuka lubang bahan bakar. Itupun setelah petugas pom mematikan mesin mobil lalu mengambil kunci mobilku untuk membuka lubang bahan bakar (ya oloooooooo, kebangetan anak ini!)
Selanjutnya, demi cari aman di jalan, aku mengekor di belakang plat kuning sepanjang Semarang. Hehe...
Esoknya, Aku, Aziz, dan Fajril anak Mamak the Magic Word in the Work Camp Land, ikut tim KKN Undip untuk tanam mangrove. Lumayan, pengalaman pertama merasakan telapak kaki lecet-lecet tergesek karang di kedalaman lumpur sepaha (maklum, pertama kali tanam mangrove, agak lebay). Jarak lokasi penanaman mangrove dari rumah Mamak the Magic Word in the Work Camp Land sekitar dua kilo, jalan masih sedikit dibawah standar. Untuk mencapainya aku kembali arah melewati jalan kecil membelah sawah yang aku lewati kemarin malam bersama mas Agus lalu belok kanan ke arah pantai. 

Party
Tak salah kupilih Ali sebagai teman. Gila, gokil, banyak tingkah, extrovert (tapi masih punya malu), sumeh alias murah senyum, dan lebay jaya (saking overnya, kadang memalukan). Akhirnya cocoklah kami berdua sebagai hospitality team yang mempersiapkan party untuk para bule-bule itu. Party pertama kami adakan di aula sebelah masjid. Party kami berbarengan dengan peringatan Maulud Nabi Muhanmmad SAW. Jadilah kami semua gila di aula samping masjid, happy-happy, teriak-teriak, sorak gembira main dakon sambil mendengarkan jama’ah masjid tadarrus. (Ya Allah...Astaghfirullah...tobat, Mas. Tobat!!)
Keesokan harinya party kedua. Kami semua termasuk bule berdandan layaknya pembajak laut dan beraksi dengan gaya masing-masing. Ada Johny Depp from Hongkong, ada Balinese pirate, DJ pirate, robot pirate, dan Muslim pirate karena pakai jilbab 

Dua puluh peserta kontes pirates ini selanjutnya meluncur ke rumah karaoke di Semarang tanpa merubah dandanan sedikitpun. Jadilah kami semua pusat perhatian di Family Fun Karaoke... (ajiib tenaaaaan!!!)
Karaoke night ini adalah farwell party NVDA (Network for Voluntary Development in Asia) meeting, yang digelar di rumah relawan homestay IIWC (Indonesia International Work Camp), organisasi kerelawanan di Indonesia yang jadi tuan rumah penyelenggara NVDA meeting tahun ini. Aku, Ali, Aziz, dan Noni adalah active member di IIWC yang ikut cawe-cawe mempersiapkan acara NVDA meeting sebagai hospitality team. Lumayan, bisa nyengnyong gila-gilaan bareng bule Asia. 
Jogjaaaaaaaaaaaaaa!!!
Tempat yang satu ini tak perlu ulasan detil karena semua pasti pernah kesana.
“Jogja, Kucinta Setiap Sudutnya”. Kira2 begitulah kalimat yang cocok tuk menggambarkan kecantikan kota keraton ini. Bukan hanya karena tempatnya yang cozy tapi juga orang2nya ramah dan lucu-lucu :D

Pukul 13.05 tiba di stasiun lempuyangan. Sudah ada yang menungguku disana, Winda, mahasiswa APMD Jogja. Setelah kenalan, aku diajak keliling liling sebelum akhirnya tiba di basecamp mahasiswa jurusan ilmu komunikasi APMD. Istirahat sebentar sambil kenalan dengan teman2 baru, nonton tipi, ngeteh, ngopi, ngobrol seputar perkembangan ilmu komunikasi dan ilmu traveling sekalian rapat sebentar membahas event penghijauan, aksi penanaman pohon disekitar merapi minggu depan. Rencana sih sepulang dari singapur mau join penghijauan bareng mereka, sekalian silaturrahmi nasional IMIKI, Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia :)

Setengah empat jalan jalan lagi (jalan kaki) keliling jogja sambil nyari bank. "Sudah tutup, Mas!"
Wah, sayang, padahal aku mau tukar duwit... Syukurlah mas Tino dari basecamp berbaik hati mengantarku ke money changer di Amplas (Ambarukmo Plasa). Rupanya dia langganan disini. Setiap kali sebelum atau setelah mudik ke Timor Leste dia tuker duwit disini (Mas Tino, kapan2 aku ke Timor Leste ye. )

Kembali ke APMD. Sambil nunggu maghrib, aku istirahat di basecamp. Sejenak hampir kesirep, Gayuh menjemputku bersama sang pacar. Batal deh nginep basecamp! Aku direlokasi menuju kos Gayuh, sobat SMA yang sedang melanjutkan studi penerbangan di Jogja. Dia sedang menyelesaikan tugas akhir tentang proyek roket (awas ojo sampek salah ndarat yuh!!!)

Kontrakannya lumayan gede (dan agak mewah). Malam ini aku menginap disini sebelum esok terbang ke singapoer :)

Rasanya tak lengkap ke Jogja tanpa nangkring di angkringan Malioboro. Hm.... kami berlima (Adi, Gayuh, Arin, Kathok dan sang pacar) lewati sarkem, menikmati nostalgia di angkringan sambil nyruput kopi arang (mAk JOOoOooOS!!!) dan mengakhiri perjalanan malam dengan mengabadikan momen di tugu Jogja ;) pulang kandang setengah satu

Pukul 06.00. Melek, diam sejenak me-review mimpi malam tadi, merenung didepan rumah disamping jemuran kontrakan mengamati hamparan hijau tempat sapi-sapi dan kambing merumput.
06.14 mandi pagi, disusul gayuh yang baru bangun.
06.55 berangkat ke Adi Sucjipto.
07.05 parkir di halaman bandara.
Rupanya hanya aku yang check in dan boarding di jam segitu. Counter AA juga udah sepi, hampir tutup..jadwal terbang 07.30 (WHAT!!!). Sepertinya dari tadi namaku juga udah dipanggil berkali-kali oleh petugas bandara :(

07.30 Take-ooooooooooff


Low crime doesn't mean no crime! Tiba di Singapur
Mendarat di Changi 09.40 waktu setempat. Keliatan banget mana yang sering ke Singapur dan mana yang baru pertama kali kesana. Hohoho...Selanjutnya minta stempel ke pak Imigrasi. Bagi para TKI, lorong imigrasi ini bagai lorong kematian karena mereka selalu diselimuti rasa takut, apalagi yang bahasa Inggrisnya nyendat-nyendat. Tapi syukur lah, pakaianku tak menampakkan TKI, hanya sepasang sandal jepit, celana pendek, kaos oblong, dan backpack plus kacamata gelap.

Tentu saja bu imigrasi (kebetulan petugasnya cewek) itu yakin aku ke singapur tak bermaksud megawe melainkan liburan apalagi pasporku sudah tak perawan lagi (sudah ber cap), itu berarti aku udah pernah liburan ke negara lain.

Mentang-mentang aku dari Indonesia, dia menanyaiku menggunakan bahasa melayu. Kujawab saja panjang lebar pakai bahasa inggris, mampus...
Aku mampir ke information center sekedar tanya bagaimana cara keluar dari bandara mewah ini dengan cara paling murah dan nyaman.
TIPS: nggak usah gengsi, kalau emang mau liburan murah, pasang muka besi!!! malu bertanya sesat di jalan, sesat di jalan memalukan. Mintalah peta Singapura selagi di bandara, biasanya didalam peta sudah include rute MRT. Itu akan sangat membantu :)

pose di MRT (pake gaya miring)

Aku menuju terminal II untuk diantar kereta subway (gratis) ke stasiun MRT. Jangan lupa beli tiket MRT. Kamu kudu punya tiket ini. Ada 2 jenis tiket MRT: standard dan ez-link. Bisa dipakai untuk bis juga. Saranku, pakailah ez-link. Selain lebih murah, kartu ini lebih simpel dengan pre-load service­-nya. Sedangkan standard ticket, kamu harus isi pulsa di setiap stasiun dan memebayar sesuai stasiun tujuan. repot dan nyebelin! tapi aku punya dua-duanya :)

Dari stasiun Tanah Merah aku interchange untuk menuju Bugis, kawasan tempat aku akan tinggal

Hari pertama: Nyasar, enjoy pieces of the spot.

Itulah prinsip travelingku Tak terkecuali saat nyasar, aku selalu menikmati setiap sudut, karena setiap hal kecil selalu dapat dinikmati J
Turun dari stasiun bugis, kupelajari map sejenak. Aku berjalan sesuai arah peta mencari penginapan. Aku kecolongan, lupa tak menyertakan kompas dan saat itu langit mendung, akhirnya kebingungan menentukan arah barat timur
Dari Intercontinental melewati national library, rumah sakit rafless, kembali lagi ke stasiun bugis.

Setelah sejam lebih kehilangan arah, akhirnya kutemukan hostel yang kucari, “backpacker cozy corner” HOTEL. Wuiiiiiiiiiiiiiiiiih, dari namanya aja terdengar sangar. HOTEL “pojok backpacker yang cozy banget” mungkin begitulah versi ala KBBI. Ini adalah nama hotel terpanjang yang pernah kutemui setelah hotel Vini Vidi Vici di Surabaya.

HOTEL ‘pojok backpacker yang cozy banget’ ini biasa popular dengan sebutan ‘cozy’ saja. Letaknya strategis di kawasan bugis dekat dengan bugis station dan bugis plasa. Tepat dibawahnya terdapat beberapa warung sederhana dan resto India dengan sertifikat halal. Dibanding hotel-hotel lain, menurutku ‘cozy’ paling murah, hanya 13 SGD per malam (untuk kelas dorm) sudah termasuk breakfast dan internet 20 jam sehari. Sampek mblokek!!!
Pemiliknya Chinese. Kesan pertamaku terhadap resepsionis ini dia sedikit bawel. Tapi ternyata setelah tahu aku adalah pemegang paspor hijau, senyumnya mulai tampak. Kami berdua ngobrol dengan guyub dan rukun JJ JJ          

15.00 Perjalanan pertama menyusuri SG (selain nyasar) kuawali dari bugis menuju little India. Sholat Ashar di Masjid…blablabla…(lupa namanya) sekitar LI. Masuk pasar LI berasa ada di Malioboro. Bedanya, kalau di Malioboro nuansanya serba Jawa, kalau di LI anginnya aja udah bau keleknya Aishwarya Rai (I love it).

Kudapatkan kacamata gelap tak lebih dari IDR 15.000 alias 2 SGD. Para pecinta India wajib manyambangi tempat ini. Barang-barang yang dijual tak jauh dari atmosfer hindi seperti sindoor, saree, mehndi, dkk.. Are kya hua hai???  

18.00 Orchard road.
Sepertinya nama ini tak asing ditelinga orang indo. Inilah tongkrongan favorit orang indo saat melancong ke SG, pun para TKI/W yang mengais rejeki disini. Utamanya akhir pekan, tempat ini bagai pasar tumpah. Di orchard banyak resto indo termasuk warung soto Surabaya (uenak rek!). Jangan kaget kalau di orchard banyak pemuda “lo lo gue gue” berseliweran karena selain serba Indo, penghuni apartemen disekitar Orchard seperti Lucky Plasa juga penuh dengan para indo.Di Orchard ada Singapore Visitors Center. Itu loh, tempat nongkrong para visitor, termasuk TKI Put it into your list!


Menyusuri jalanan orchard badan pegel semua. Aku duduk leyeh-leyeh di depan 7 11 sambil membolak-balik. map Eits! rasanya janggal mendengar musik Indonesia disini. Kalau lagunya Sheila On 7 atau D'Massiv sih gak papa..lha wong yang diputer lagu ”padamu negeri”. Badanku meriang seketika. Kudekati sumber suara tersebut. Tahu dari mana sumber suara itu berasal??? TOKO EMAS!!! 



Hari kedua:
Hampir setiap kali sarapan di dapur hotel selalu ngobrol bahasa Indonesia karena pasti ketemu dengan para indo wan dan indowati (mubadzir ke SG cuma buat blajar bahasa inggris!). Di dapur aku ketemu dengan mas Koko, Mbak Intan dan kawan-kawan dari Jakarta. Lalu kami ngobrol seputar pengalaman ke SG dan beberapa spot hangat yang patut dituangkan dalam menu perjalanan hari ini. Akhirnya aku dan Dimas (anak Bogor, mahasiswa IPB) yang juga baru kenal tadi malam (satu dorm denganku) mengawali pagi ini dengan trip bareng ke Sentosa (hore horeeeee, dapat temaaaan!!)   


Perjalanan ke, selama, dan dari sentosa menghabiskan hampir 5 jam. Pokoknya puas deh..DIJAMIN!  tapi sayang, 5 jam itupun cuma 60% bagian sentosa island yang kami nikmati karena dimas harus balik ke indo. Akhirnya kami pulang ke kandang naik MRT turun bugis. Kami berpisah di “cozy”. Sebagai kado sayonara, Dimas kuhadiahi kacamata hitam dari little India  :D
    
Sore hari aku mampir ke resto India, santap Indian food sebelum ke esplanade, singapore flyer dan sekitarnya. Tiba di esplanade pukul 19.00, lesehan di samping pantai dan mengabadikan foto (ajiiiiiiiiiiiiiiibb!!!)


Lanjut menyeberangi jembatan marina bay (ambil foto lagi) putar-putar tanpa arah tanpa peta akhirnya tiba di Chinatown. Ambil foto lagi plus tawar menawar harga di semua stand. Begitu ketemu stand dengan harga cocok, aku membuat deal dengan penjual, deal bersyarat. Hahaha…deal dulu, belinya besok.

Dari Chinatown ke Clarke Quay jalan kaki. Menikmati keindahan tengah malam di Clarke Quay dan sekitarnya jadi menu dessert malam ini sebelum pulang kandang… Puaaaaaas
01.00 mimpi indah di cozy………………..ggrrrrrrrhk

Hari terakhir aku memenuhi syarat jual beli dengan cicik dan koko di Chinatown. Belanja puas harga pas dan terjangkau (resiko punya temen banyak, harus belanja oleh-oleh banyak) Kunjungan terakhir adalah sekitar Singapore river, patung Raffles, Asian Civilization Museum,dan Mustafa center di little India, beli kacamata gelap!!!

16.00 Menyeberang ke Batam
“Penguin” adalah operator jasa penyeberangan kapal Ferry yang aku gunakan untuk menyeberang ke Batam. It cost 23 SGD. Dari dalam kapal tampak sentosa yang megah dan kabel beserta keretanya bergelantungan di atas sana dengan background sunset, Dari Singapur, Batam nampak, pun dari Batam, Singapur tampak gemerlap. bye singapur...


“WELCOME TO BATAM” sebuah tulisan putih terpampang di gunung (macam “HOLLYWOOD” di Amrik) menyambut kedatanganku di pelabuhan Batam Center. Rupanya aku masih bisa menikmati sisa-sisa sore yang indah ini dengan rombong soto khas Batam di depan Megamall (lumayan bisa jadi obat homesick) Nyummyyyyy   


EH, denger-denger nih..orang singapur sekedar liburan ke Batam untuk buang sampah sembarangan, nyebrang jalan sekarepe dewe, dan merasakan nikmatnya kebebasan merokok dii sembarang tempat. Itulah kelemahan beberapa negara modern, membuat semua penduduknya terhimpit oleh rasa keharusan mematuhi peraturan-peraturan yang kadang di negara lain (negara berkembang) peraturan tersebut dirasa sedikit aneh. Beruntung pula di Indo banyak pantai yang alami dan cantik yang tak kalah dengan pantai “modern” yang telah dipermak. Gunung, kepulauan, dan hutan yang maha luas adalah harta karun bangsa kita yang selalu dilirik oleh bangsa lain yang hanya memiliki aspal mulus dan gedung pencakar langit seperti singapur. Oke …? MERDEKA!!!. Wes buyar..buyar....

Usai melahap semangkuk soto seharga IDR 15.000, aku melanjutkan perjalanan petang naik angkot (disebut “bimbar”) ke kampus Putra Batam menemui teman chatting yang sudah siap meng-host diriku (horeeeee!  nginep gratis di Batam! )

Mas Jarot namanya, kami berdua sudah membuat appointment untuk ketemuan di kampus. Dia ngekos deket kampus. Begitu ketemu kami berdua kenalan, dan langsung menuju homestay. Orientasi dilakukan sepanjang perjalanan. Biasalah pertanyaan basa-basi, asalnya darimana, usia berapa, status apa, sudah berapa kali menduda… (lho?), sudah kemana aja, dsb. Sesampai di homestay ternyata sudah ada banyak teman2 mas jarot menyambutku disana :) mereka adalah kawan seperjuangan semasa kuliah di Semarang dan bersama-sama dengan mas jarot mengadu nasib di pulau ini. A’an, Irfan, Iryan, Andi 1, Andi 2, dan Joko. Mereka memutuskan untuk ngontrak rame2 dirumah ini. Alamak!  jauh-jauh ke Batam ketemunya karo wong jowo…maklum, mayoritas penduduk di Batam adalah pendatang (ada yang pernah denger nama suku Batam???)

tapi jangan salah, akomodasi yang kudapat lumayan lengkap mulai dari kamar mandi, mesin cuci, komputer, tivi, sampai PS. Semuanya gratisss. Hahaha…

Hari pertama di Batam kami bercerita banyak tentang Banyuwangi, mulai dari bahasa sampai santetnya yang terkenal seantero jagat, dan mendengarkan lagu-lagu Banyuwangian. Lumayan bisa jadi obat rindu kampung halaman, lalu rame-rame berempat menuju warung lesehan di mall top 100 depan Hokky Bear. Wuih…rame! maklum, malam minggu. Esok paginya keliling Batam dengan mas jarot lewat rute Nagoya, Coastarina melewati masjid agung Batam, BI, DPRD, pusat etnis Melayu, dan menghabiskan sore di Jembatan Pak Habibie (nama aslinya jembatan Barelang) yang menghubungkan pulau Batam dengan ex kampung Vietnam. Dari sini nampak pulau-pulau kecil yang indah. Pulangnya kami mampir nasi padang. Catatan: makanan disini didominasi oleh rasa Minang. Hampir tiap hari marung nasi padang. Ambo!

 Mas Jarot dan nasi padang dengan lauk HP CRoss.

Malam terakhir di Batam aku menghabiskan waktu di angkringan sekitar Aviari depan warung Cak San. Seperti biasa, gorengan jadi menu andalan. Jadi terasa di Semarang. Apalagi lagu pengiringnya album Serra: ”tokek belang” dan ”angge2 orong2”. Walaaaah (ra melok nggawe melok momong!). Tersedia juga warung Suroboyo, Solo, dan Lamongan. Pulang dari PKL narik duwit di ATM karena duwitku tinggal satu dolar. 

Pagi hari sayonara dengan mas jarot dan kawan2. Hm…tiga hari di Batam serasa tiga jam. Aku diantar menuju Sekupang melewati Taman Hutan Wisata (semacam Alas Purwo di Banyuwangi), beberapa villa yang anggun, dan Taman Kolam Wisata.

Jadwal Ferry ke pelabuhan Buton, Pekanbaru hanya sampai pukul 08.00.. (Catatan : Jangan kaget di Sekupang karena penjual dan calo tiket sama aja, mereka jual tiket dengan cara menggertak dan berteriak kencang. Kira gue maling???!)

Untuk memastikan harga yang mereka pasang tidak melampaui batas atas, tak ada salahnya bertanya pada petugas pelabuhan. Aku beruntung karena dapat harga IDR 10.000 lebih murah dari harga biasanya (IDR 260.000) sudah termasuk ongkos bis dari Buton ke Pekanbaru. Tapi tetap saja aku berpikiran negatip, mereka bersekongkol. Karena harga segitu bagi orang jawa tidaklah murah. Ah, wallahu a’lam. Positip tingking aja J asal kalian tahu, tadi malam aku hanya menarik duwit di ATM sejumlah IDR 250.000 dan itu semua habis ditukar dengan dua lembar kertas bertuliskan “tiket”. Itu berarti aku harus berpuasa lebih dari setengah hari L 

Terombang-ambing enam jam diatas Ferry bukanlah hal yang nyaman kecuali kamu keluar ke atas dan menikmati indahnya lautan. Apalagi melewati selat kecil diapit oleh pulau-pulau mini berselimut mangrove. Serasa terlibat dalam liputan discovery channel. Menakjubkan! Begitulah, ferry mendadak berjalan pelan karena membelah pulau-pulau kecil dengan hutan disebelah kiri kanan. Hm…this is Papua of Kepri J  

Duduk disampingku adalah bapak tua usia pasca pensiun. Berniat korek informasi tentang pelabuhan buton dan pekanbaru, yang ada ternyata ini adalah perjalanan pertamanya. Okelah kalau begitu. Kita berdua sama-sama outsider pak!

Aku harap-harap cemas akan adanya ATM BRI di pelabuhan Buton. Berharap pula Buton adalah pelabuhan megah yang dibangun dari lading minyak Caltex. Disana akan ada rumah makan, restoran, toilet bersih, pasar, sekolah, gedung bertingkat milik swasta dan pemerintah, serta pusat perbelanjaan yang dilengkapi ATM center. Mudah-mudahan. I hope so…

Menjelang Buton segerombolan  calo masuk meneriaki penumpang:
“Tapel, trapel, trapel!”
“Ayo yang trapel bang,  trapel Pekanbaru!!”   
“Pekanbaru! Trapel!”       
“Trapel, Bang? Kemana, Bang” seorang bertanya padaku. Aku hanya geleng-geleng kepala sebagai tanda tidak setuju (dan tidak tahu).   
  

Buton
Damn it!!! Rupanya hari ini aku benar2 puasa! Pelabuhan ketapang di Banyuwangi jauh lebih baik dan layak ketimbang disini. Yang ada hanyalah warung-warung tenda dan toilet aneh (aku tak bermaksud bilang “kumuh”) serta ruang tunggu kosong. Rame sih, tapi gersang dan jauh dari peradaban. Di depan sana, dekat pintu keluar telah berjajar antre beberapa Avanza yang siap mengangkut penumpang terusan ke Pekanbaru. Namun anehnya tak kujumpai bis seperti yang tertulis dalam tiket. I didn’t know what to do. Dengan modal pulsa seadanya, aku telpon kantor tiket di Batam, menanyakan kapan bis akan datang. Darinya kudapat nomor HP supir, but it was useless, I couldn’t reach. Ku telpon lagi kantor, kali ini aku dapat jawaban bis sedang rusak, macet, dan sedang diperbaiki tanpa ada kabar kapan bis akan sembuh dan meluncur kesini. Hm…perasaanku mulai gak enak. Semua serba semrawut. Para manusia trapel itu terus mendesakku dari segala arah. Trapel trapel trapel trapel dan trapel. What a shit trapel!!

Aku terus mondar-mandir bermaksud melarikan diri dari manusia tapel dan mencari tempat paling aman untuk menyelamatkan diri. Dengan tegas mereka menjawab tak ada jemputan, pun bis tak kan datang. Ah, aku tak mungkin tertipu. Itu sih akal-akalan mereka saja. Hampir disetiap stasiun, terminal, dan pelabuhan diseluruh penjuru Indonesia semua orang juga bilang begitu. Oh ya, satu hal lagi. Mereka selalu bilang “langsung berangkat”.

OK!  Now I know why…
Aku tahu kenapa mereka bilang trapel, maksudnya adalah travel (Ya olooooooooh, bilang dari tadi nape?!)
Manusia travel itu tengah mencari mangsa yang baru turun dari kapal yang akan melanjutkan trip ke Pekanbaru. Akhirnya setelah beberapa kali debat aku mengalah saja (inget den, puasa-puasa gak boleh marah J) para mangsa diwajibkan membayar lagi IDR 70.000 untuk tujuan Pekanbaru kecuali yang sudah memegang tiket bis termasuk aku hanya membayar IDR 30.000 saja. Hm…manusia travel yang cerdik!!!         
Kujelaskan bahwa aku sedang mlarat dan tak punya uang, dan akan membayar travel ketika telah tiba di Pekanbaru nanti dan menemukan ATM BRI . Mereka percaya. OK, cabut! 

Perjalanan Buton-Pekanbaru ditempuh selama 4 jam. Aku melawati areal perkebunan kelapa sawit maha luas (baca:luaaaaaaaaaaaas banget!). Tak ada rumah di kanan kiriku. Hanya jalan aspal mulus sepanjang mata memandang kecuali beberapa puluh kilometer setelah buton, terdapat segelintir rumah diatas tanah kapur, ciri khas tanah disini.

Kami berdelapan termasuk supir dan kernet. Aku duduk di kursi paling pojok kiri belakang. Disampingku adalah sepasang suami istri yang hendak pulang ke Medan. Mereka bercerita tentang jawa, karena pernah disana selama 5 tahun. Aku merasa dihormati oleh mereka (cie cieeeeeeeeeeeee, ehm!), entah karena statusku sebagai orang jawa atau sebagai mahasiswa. Didepanku adalah pak tua yang tadi duduk disebelahku saat di kapal. Dia tak bicara banyak. Bahkan tadi di pelabuhan sempat mondar-mandir ngalor ngidul takut kehilangan barang-barangnya.

Bosan dengan pemandangan pohon sawit dan obrolan seputar jawa, aku memejamkan mata. Bermaksud menahan lapar dan pergi tidur. Tapi si supir malah memutar lagu dengan kenceng. Lagu minang melayu tahun 90-an. Lagu jaman aku baru lulus TK.
“mengapa terjadi perpisahan ini, dikala asmara melebar sayapnya…”
“manis di bibir memutar kata, malah kau tuduh akulah segala penyebabnya…”
“dimana mata air, disitu ku berlindung, dari sengatan panasnya bumi….”  
SATU ALBUM!           


16.30 Pekanbaru = tragedy
Sesampai di salah satu ”loket” (sebutan untuk tempat pemberhentian bis/travel selain terminal dan tempat pembayaran tiket serta tempat pemberangkatan bis/travel) di Pekanbaru, aku segera turun dan menitipkan tasku di dalam loket, layaknya penumpang lain. Tujuanku dari Pekanbaru adalah Bukittinggi. Bis berangkat dari sini pukul 18.30. itu berarti aku masih ada waktu 2 jam untuk memenuhi tanggunganku. Aku segera menuju ATM BRI diantar salah satu petugas loket. Sebelumnya sempat ada konflik kecil karena penjelasanku membingungkan mereka. Akhirnya petugas loket membayar tiketku Buton-Pekanbaru sebesar IDR 30.000 kepada supir travel Avanza karena sang supir harus kembali pulang. Urusan jadi gampang, berarti aku tinggal bayar IDR 30.000 ke petugas loket dan beli tiket Pekanbaru-Bukittinggi seharga IDR 40.000. Sampai disini tak ada masalah.

Setiba di ATM BRI aku tak merasa curiga sama sekali, tak terpikir hal bodoh akan terjadi. Entah kenapa tiba2 aku mengalami kesulitan menemukan kartu ATM di dompet. Aku mulai berpikir macam2. Serasa hilang akal. Perasaanku campur aduk, malu, bingung, khawatir, takut, tegang.

Setiba di loket aku periksa tas dari saku luar sampai paling dalam, termasuk diantara lubang2 celana dalam. Tak kutemukan batang hidung ATM BRI disana. Ya sudahlah kalau memang gak ketemu berati hilang. Ini berarti aku harus puasa lagi. Tenang...
Semua bank jam segini sudah tutup, sejam lagi buka puasa. Kalaupun ada yang buka, pastii sulit ambil duwit dari rekeningku karena buku tabunganku juga ketinggalan di rumah. Tenang...
Beruntung aku punya software SMSbanking BRI. Jeng jeeeeeeeng!!! Hohoho... (lah! kok malah promosi???) dengan software ini aku bisa transfer ke rekening manapun dengan hanya sentuhan jari. Masalahnya, aku harus mencari orang yang mau dan rela kupinjam kartu ATMnya. Itu bukan hal mudah. Ini menyangkut citra dan kepercayaan! Masalahnya lagi, disini tak ada yang kukenal. Dan rasanya mustahil ketika ada orang yang baru kenal lalu mengambilkan duwit dari rekeningnya untukku. Walau terdengar agak masuk akal, tapi kemungkinan 0,0000000000001% saja. Itu terbukti ketika aku mengantri di mesin ATM BRI. Aku dikira maling, tukang sihir, tukang gendam, magician, pelaku hipnotis, atau apalah namanya...
Aku menanyai salah seorang nasabah yang sedang mengantri agar mau membantuku, aku jelaskan akan kutransfer sejumlah uang dari rekeningku ke rekeningnya sementara aku menunggunya dari luar. Berulang kali aku yakinkan:
"Saya tidak ikut masuk, Pak, saya disini aja."
"Oh, ya..."
Awalnya dia bersedia, tapi kemudian istrinya memperingatkannya. Dia membisikkan sesuatu pada suaminya
"Ssssst, nggak usah pak, jangan. Dia itu penipu!"

Hatiku sakit

******
Singkat cerita, aku nekat hitch-hike ke Bukittinggi, kabur dari loket menuju jalan raya (mas loket, someday saat ku kembali lagi ke Pekanbaru dan bertemu denganmu, akan ku bayar semua hutang2ku. Sudah kucatat di buku kredit: “loket Pekanbaru Rp 30.000” :) )
Aku susuri pertigaan jalan besar Pekanbaru ke arah kanan menuju Bukittinggi dan berniat numpang truk yang kebetulan lewat. Hampir sejam aku berjalan, tak menemukan kesimpulan sama sekali. Pikiranku mulai macam2..”cari masjid untuk menginap dan meneruskan perjuangan esok hari (perjuangan jalan kaki menanti truk atau berjuang meyakinkan para nasabah di depan mesin ATM)”.
Langkahku terhenti di depan sebuah hotel, di samping penjual gorengan. Aku duduk sejenak, melirik uang di dompet sejumlah IDR 6.000. Tak ada yang bisa kuperbuat. Aku berniat menukar sisa uang dengan gorengan. Namun tiba-tiba aku dikejutkan oleh papan nama di seberang jalan, "Universitas Riau". YES!!!
Dengan sisa baterai seadanya, ku SMS Angger, mahasiswi Ilmu Komunikasi asal Bengkulu, untuk menghubungkanku dengan salah satu mahasiswa Unri, berharap dapat homestay gratis malam ini. Hampir sejam aku menghabiskan waktu di depan hotel ini, seperti calon pelamar cleaning service yang menunggu panggilan nomor urut. Matahari tenggelam, lampu jalan raya menyala. Alhamdulillaaaaaaaaaaaaaah, aku akan dijemput oleh mas Riski, mahasiswa ilmu komunikasi Unri (horeeeeeeeeeeeeee!!!)
Seketika laparku hilang. Aku berjalan menuju Masjid kampus Unri, mandi, shalat, sambill nunggu jemputan. Aku bertemu Hendra disini (karena Riski sedang kuliah), kenalan, lalu diantar ke kos. Biasa, orientasi dilakukan di jalan, namanya siapa, asalnya darimana, ada acara apa, bagaimana, dsb...sekaligus dia jadi tourguideku di Pekanbaru. Wah, senangnya dobel...diriku dapat homestay gratis, tourguide gratis,  dan makan gratis (KENYAAAAAANG!)
Hendra dan nasi padang (dengan lauk HP Nokia)

Hendra ngekos sekamar dengan Abdi di sebuah rumah kontrakan beberapa ratus meter dari kampus Unri. Dikontrakan ini, kami bertiga ngobrol asik tentang suku anak dalam di Jambi dan marga-marga. Abdi bermarga batak, but he doesn’t look like bataknese (mukanya malah mirip wong Jowo). Hendra menjelaskan, hampir 70% warga Pekanbaru adalah pendatang. ”Perekonomian disini keras, Mas, hampir sama dengan Batam,” tegasnya. Dia juga bercerita tentang Bengkalis yang pecah menjadi 4 Kabupaten: Dumai, Siak, Meranti, dan Bengkalis sendiri yang APBD nya terbesar se-Indonesia (Caltex bosss!) sama lah dengan Riau. Lalu pembahasan merembet ngobrol tentang Banyuwangi (santet lagi, santet lagi!). Ternyata di Sumatera juga ada daerah yang isu santetnya lumayan santer yaitu di pedalaman suku Sakai, masih termasuk kabupaten Bengkalis. Selanjutnya pabrik kertas terbesar, RAPP di Pelelawan, dan PLTA Kotapanjang yang menghidupi Riau, Sumatera barat dan Jambi. 

Esok harinya kujelaskan masalahku. Dengan baik hati dia bersedia mengantarku ke BRI untuk membuat ATM baru sekalian ambil duwit. Ternyata proses membuat ATM tak semudah yang ku bayangkan, pun ambil duwit, harus bawa buku tabungan. Nggak mungkinlah aku harus kembali pulang ke Banyuwangi untuk ambil buku tabungan, atau merepotkan orang rumah kirim paket berisi buku tabunganku. It will take long long time. Tenang...
Beruntung mas Hendra punya ATM BRI. Segera ku transfer sejumlah duwit ke rekeningnya lewat SMSbanking. problem SOLVED!!! :)

Hari kedua di Pekanbaru nyobain Metro Pekanbaru, mirip TransJakarta/TransJogja. Keliling kota Pekanbaru yang megah melewati perkantoran Sudirman, Citywalk, DBL, Museum, Vansquare, Hotel Pangeran, Konter Riau Airlines, The Premiere, Kantor Walikota, Kantor Gubernur, dan lain-lain (kota bertuah!), Mall Pekanbaru, UIR, Mall SKA. Future islamic Center. Ganti metro 2 kali, perjalanan berakhir di terminal Pekanbaru....

Catatan bersambung minggu depan: bukittinggi, danau toba, medan, jakarta, surabaya, banyuwangi.....

Niat

Modal awal yang harus dimiliki. Tidak mantabnya niat menyebabkan gagalnya perjalanan


Nekat

Kadang hal yang satu ini mampu mengubah segalanya dengan tiba-tiba. saat-saat tertentu dibutuhkan nyali kuat untuk menghilangkan rasa takut. nekat adalah jawabannya (wihhh, pak yai ndalil..)


Antimo

Buat yang suka mencret dalam kendaraan (kliru booooooooooooss, mabok!). Oh ya maap, mabok maksudnya. Tapi mabok berat kan bisa berakibat mencret :(


Pede

Lawan kata pesimis dan malu. Percaya pada diri sendiri lebih baik ketimbang percaya pada kemampuan presiden sekalipun! Jangan asal ngikut orang dengan alasan banyak yang berjalan di jalur A, tapi ikutilah jalur B dimana tujuanmu ada disitu. Satu hal kecil misalnya: memilih jalur kereta. Ketika belum sampai di stasiun tujuan tapi kebanyakan orang turun di satu stasiun, pasti kita bingung. ya kan? atau di bandara yang seharusnya kamu menuju terminal II yang sepi tapi semua orang di depanmu menuju terminal satu. Pasti jadi bimbang, padahal mereka adalah satu grup wisata dari desa Sukamaju yang berbondong-bondong menuju toilet dan nyasar ke terminal I. Kamu mau ikutan nyasarrrrrrrrrrrr???


Sombong

Beda tipis ama pede. Kadang sombong dibutuhkan saat kita menghadapi adanya hal merugikan akan terjadi pada diri kita. Misal: saat kita berhadapan dengan seseorang ternyata dia tukang tipu. gunakan sombong secara intelek!


Reference

Minimal kamu sudah punya gambaran tempat yang akan kamu kunjungi, misalnya lewat internet, milis, cerita dari teman, dan lain-lain. Itu akan sangat membantu. Gali info 5W+1H. Biasanya, temen2 yang traveling cari info di sini nih: indobackpacker, backpackerindonesia, atau couchsurfing. Ketiganya adalah situs untuk komunitas backpacker dan traveler. Mereka biasa share pengalaman traveling disini, dan juga cari partner sekalian cari tempat nginep atau host (biar ngak dikira gembel!) di milis masing-masing. Kalo aku, hehehe...join ketiga-tiganya


Map

Biar kamu ngak buta. bila perlu, sertai kompas!


Botol kosong

Air putih (orang jawa menyebutnya air mineral) mahal den! Apalagi di singapur. Sebotol aqua sedang aja sepuluh ribu lebih! lebih baik aden sedia botol kosong sebelum berangkat dan diisi air kran disetiap penjuru singapur (hotel, taman, bandara, dll)


Duit

Ya iyalaaaah! mau bayar pake kerikil?!!!

2 comments:

  1. Nice,funny, awesome story.....
    hahaha..berhasil mengocok perutq....eh,hubunganmu dgn mas agus si ojek msh brlnjutkah??

    ReplyDelete
  2. Sapa ini? Ali kah???? hahaha... dasar!!!
    rupane wonge ae aq wes lali!

    ReplyDelete