Kawan, hari ini, setahun yang lalu, kita bersama sama menantang diri kita untuk membuktikan salah satu ciptaan tuhan. Kita bersama menaklukkan rasa takut dalam diri kita demi menggapai salah satu mahakarya-Nya. Setiap langkah adalah kerendahan hati, yang dengannya kita semakin merunduk, bahu membahu, dan berbagi.
Perjalanan ini bukan semata-mata menghentakkan kaki, bukan pula sekedar mengabadikan memori, perjalanan ini serupa lensa yang mengabadikan segalanya, mempertemukan kita dalam sebuah frame petualangan yang akan menjadi memorabilia bagi kita dalam mensyukuri indahnya karya sang Khaliq. Jejak kaki dan tekad kita tak kan pernah terhapus oleh debu dan angin. Walau nama kita tak sempat terukir di puncak itu, saya yakin tekad bulat kawan-kawan telah lebih dulu terukir bersama tetesan hujan, selimut awan, dan hembusan angin Mahameru. Ia akan terkenang sampai tuhan benar-benar mengijinkan kita menyatu dengan tanah ini, nanti.
Saya tidak tahu kenapa Tuhan pertemukan kita dalam cakrawala Semeru kala itu. Dia berikan karunianya salah satunya dengan menanamkan kelebihan pada setiap manusia. Pertemuan itu menyadarkan saya tak ada manusia yang biasa-biasa saja. Setiap manusia memiliki keyakinan dalam hidupnya bahwa tak ada prestasi yang tidak mampu diraih. Pun kita, memiliki keyakinan untuk menggapai sesuatu, bukan hanya milik sendiri tetapi juga keyakinan bersama karena dengan keyakinan bersama, hal sesulit apapun dapat mudah diraih. Dan di tempat itu kita dipertemukan dalam keyakinan dan tujuan yang sama, belajar.
Perjalanan berawal siang itu, di samping hamparan maha indah sebuah danau bernama Ranu Pane. Puluhan pendaki hilir mudik menggendong ransel di punggung sampai-sampai kepala mereka tak tampak dari belakang karena ukuran ransel mereka lebih besar dari sofa. Peralatan kami ala kadarnya. Tenda dan kompor gas portable, itu yang paling mumpuni, selain jaket, sarung, matras, dan beberapa bungkus sari roti. Bagi kami itu lebih dari cukup. Kami bukanlah pendaki, belum pula pantas disebut pecinta alam. Kami beranjangsana ke Semeru atas dasar wisata, jalan-jalan lebaran. Rasa penasaran kami akan puncak tertinggi di Jawa segera hilang setelah tiba-tiba kami putuskan melakukan perjalanan ini satu hari sebelum kami tinggalkan rumah.
Perjalanan kami mulai selepas sholat Jumat di masjid sebelah Ranu Pane. Kemudian kami dipertemukan dua kawan baru dengan tujuan sama, Ranu Kumbolo. Kami putuskan berangkat bersama dan akan tinggal bersama di satu tenda ini. Mereka punya niat yang sama dengan kami berempat, wisata.
Kini kami berenam, menjejak arah yang sama. Hentakan kaki kami iringi dengan gending-gending Banyuwangi. Alam turut melantun bersama irama angin. Sungguh nyaring. Bukit di samping kami terlihat gagah menambah semangat kami. Terlihat ujung mahameru mengintip dari balik awan. Alam seakan tersenyum. Bukan letih yang kami rasakan, melainkan kebersamaan dan kedekatan dengan sang pencipta. Bukan dada yang terbuka lebar, bukan tangan yang kami lipat. Semakin ke atas kami mendaki, semakin kami merunduk, semakin dekat pula kami pada-Mu.
Tak terasa separo hari kami berjalan, kini kami menghadap bukit di depan sana. Sebuah cekungan memisahkan kami dan bukit itu. Cekungan berisi air jernih yang amat luas, menjadikan ia sebuah danau yang elok. Cincin danau itu adalah bukit yang saling sambung manyambung. Awan gemulai bersanding langit biru cerah diatas sana. Hias rindang rumput dan pepohonan hijau menambah sejuk pemandangan. Andai Shah Rukh Khan dan Aishwarya Ray disini pasti mereka akan bernyanyi “Humko Humise Churalo”. Ya, dia adalah Ranu Kumbolo.
Tuhan memberikan secuil surga ini untuk kami, surga yang terlalu lembut untuk dikoyak, begitu lugu untuk dicabik. Ibarat hati, alam kami diciptakan untuk disentuh dan dijaga. Tuhan mengajarkan hambanya untuk belajar dengan alam agar mencintai, menghargai, dan merawatnya. Bukan Dia yang marah selama ini, bukan pula alam yang menyiksa kami dengan bencana. Kami lah yang tidak sadar bahwa selama ini, surga yang kami tempati ini telah kami hina dan caci maki, telah kami kotori dengan ulah kami sendiri. Kami tak sadar bahwa kami telah hidup bersama surga-surga kecil ini, di sebuah negara maritim yang setiap pulaunya menyimpan harta, setiap ombaknya menghasilkan mutiara, dan setiap jengkal tanahnya menumbuhkan harapan, dari puncak salju hingga dasar samudera.
Petualangan adalah mimpi-mimpi yang berjalan, kebersamaan adalah bunga yang menghiasinya. Walau bukan menjadi sebuah Babad Blambangan, paling tidak cerita perjalanan kita akan menjadi renungan, renungan untuk kita dan bangsa ini. Dan selama ribuan langkah kaki kita berjalan, paling tidak kita telah berbuat satu hal kecil untuk bangsa ini, belajar dan bersyukur. Selamat ulang tahun Indonesia.
Melbourne, 17 Agustus 2014