Pages

Monday, April 18, 2011

Kemiren: Intro...


Bambu kering membentang di pertigaan tepat dibawah patung besar. Awan di atasnya penuh dengan air. Bambu-bambu itu dipaksa tidur berdiri karena dibawahnya terdapat beberapa ranting dan batu besar mengganjal. Tiga pemuda berbaju lusuh gesah di tepi pertigaan, sesekali mengamati kendaraan yang menerobos bambu itu dengan sedikit tawa “manis”. Aku tak menghiraukannya, terus menerobos halangan seperti pengendara lain. Beberapa ratus meter kemudian aku berjumpa lagi batu-batu besar. Kali ini di pinggir jalan, lebih menggunung, tanpa bambu. Rupanya sedang ada perbaikan jalan. Lubang-lubang aspal dibentuk sedemikian rupa, kotak dan persegi. Lagi, tak aku hiraukan, masih terus berlalu sambil memikirkan janjiku dan sedikit mengingat kembali fungsi bambu di pertigaan tadi adalah simbol “hati-hati, ada perbaikan jalan!”.

Beberapa orang yang berpapasan denganku melempar senyum. Aku balas sambil memasukkan gigi 2. Terus kupacu sepeda motorku karena jalan semakin menanjak. Sebelah kanan atas adalah sawah dan kiri bawahku pepohonan yang dibelah oleh sungai bening dari sebuah sumber di areal perkebunan di barat. Sambil menikmati semilir angin sawah dan pepohonan di pinggir jalan ini, tak terasa tiba-tiba aku dihadapkan hanya pada satu pilihan. Beberapa saat kemudian, aku tertawa geli karena merasa bodoh tapi keras kepala. Di depanku jalan buntu.

Sambil menertawai diri yang malu karena jembatan di depanku sedang dipermak total, aku memutar balik sepeda. Setelah kembali tak kurang dari dua kilometer, aku berjumpa kembali dengan tiga orang pekerja jalan tadi. Aku lirik dari dalam kaca helm mereka umbar senyum padaku. Lagi, aku berlalu seolah tak pernah terjadi apapun antara aku, mereka, dan patung barong ini.

Jadilah aku memilih rute selatan, Olehsari Glagah untuk mencapai desa yang aku tuju. Jalan ini tembus pertigaan bersebelahan dengan DWU (Desa Wisata Using). Namun bukan itu tujuanku. Sejenak aku lirik jam digital hp. Lalu aku toleh keatas, awan sedikit tebal. Tepat sekali sebelah kananku adalah masjid Nur Huda. Tak ada yang unik dari masjid ini, hanya tampak menara sedang dipugar. Segera aku mampir hanya untuk menunaikan kewajiban.

Usai shalat, tak ada maksud lain kecuali berbaring di beranda timur masjid sambil menunggu balasan SMS. Sebelum sempat duduk, hening sore pecah oleh alunan laras dari timur masjid. Aku kenal, sumber suara itu berasal dari ketukan bambu, alat musik tradisional kota ini. Alih-alih duduk, aku mendekatinya. Tanpa sadar aku menoleh ke selatan dengan maksud mendekatkan telinga kiri menelusur sumber suara tadi. Pandanganku seketika terbuka lebar ketika yang aku lihat adalah sebuah sawah hijau berundak-undak lengkap dengan sungai, pepohonan, dan beberapa ekor sapi. Rupanya aku ada dilantai dua. Sawah ada dibawah sana, dan suara yang aku cari berasal dari dalam rumah adat suku Using yang terletak di samping gang di bawahku.
Aku duduk di samping pagar tepat di teras masjid menikmati alunan musik lagu daerah tahun 70-an tanpa vokal yang dibawakan oleh artis ngetop saat itu. Tak lama, keluar seorang bocah membawa tampelan dan sebuah bola terbuat dari serat kayu dan bulu ayam, disusul satu temannya dari arah berlawanan yang juga membawa barang serupa.  Mereka saling menyapa akrab dengan menggunakan bahasa Using, lalu saling mengayunkan mainan itu tepat di jalan kecil yang menghubungkan halaman rumah dengan sawah terpisah sungai.
Musik berhenti, namun teriakan dua bocah itu terus membahana seiring pukulan raket. Satu pukulan satu teriakan. Sejenak, keluar dari salah satu rumah sumber suara itu, seorang pemuda menyanyikan lagu meneruskan alunan yang dihentikannya. Seperti akan memulai sebuah rutinitas atau mata pencaharian sore yang sangat digemari. Dia berlalu mengendarai sepeda motor naik menuju jalan utama dan berlalu ke arah barat. Kembali kutengok dua bocah itu. Mereka seakan tak melihatku, atau cuek karena keasyikannya memainkan raket baru.
Selatan masjid adalah sungai kecil yang tampaknya jarang digunakan untuk mandi, kecuali sapi-sapi itu, mungkin. Didekatnya adalah kamar mandi umum PNPM menghabiskan tak kurang dari seratus dua puluh juta rupiah. Baru kuketahui kemudian ternyata kamar mandi itu khusus cewek. Kamar mandi cowok berada di seberang sungai, tanpa pintu, jendela, atap. Dengan dinding setinggi satu meter bertuliskan 19-12-82 sebagai lambang sejarah, air mancur yang bersumber dari perkebunan Kalibendo diatas sana telah, terus, dan akan mengalir sampai orang-orang ini merasa perlu menyimpan air itu agar tidak mubadzir.
Sumpah, sama sekali aku tak mengira akan pernah mandi bersama dengan beberapa orang di satu kotak itu. Satu hal yang barangkali sangat asing dan jijik bagi mereka yang belum pernah datang kesini. Di desaku belum pernah aku jumpai beberapa orang telanjang bulat bersama di tempat terbuka. Namun bagi mereka ini adalah karunia yang wajar. Mereka terbiasa nyabun pantat sambil ngobrol berapa karung yang diperoleh dari merumput hari ini, atau sekedar sepeda motor rewel yang tidak bisa diperbaiki.
Hapeku berbunyi, satu pesan diterima. Aku segera meluncur menepati janji menuju rumah salah satu pengurus balai desa Kemiren, pak Suwandi.


***

 

No comments:

Post a Comment