Bismillah…
Ada berapa banyak pengibaratan kata “hidup” yang kamu temui? “life is never flat”? atau “life is an adventure”?. Ya, keduanya sering nongol di iklan televisi. “Life is” dengan mudah kita jumpai dimana-mana. Atau, selain “life is”, kata-kata mutiara sebuah talkshow keagamaan, workshop MLM, dan beberapa jenis pelatihan serupa yang berisi pengibaratan hidup dan memberi kita wejangan untuk menikmati serta mengisi hidup kita agar tidak mubadzir, semuanyua berisi pengibaratan hidup.
Bagi sebagian orang, pengibaratan adalah identitas. Dialah motto yang menunjung tinggi prinsip. Pengibaratan hidup menjadi rujukan semangat kala sedih, mesin peluap amarah ketika stres, dan media protes atas ketidakadilan. Berapa kali kamu mengintip status FB temanmu yang akan menempuh ujian, misalnya “hidup adalah berjuang….semangat!!!”, “hidup adalah kerja keras, lanjutkan!!!”, atau sahabat yang ditimpa masalah berturut-turut “hidup adalah kesabaran tak berhilir…” maka, seperti itulah pengibaratan hidup dibuat, bukan oleh siapapun.
Masih di FB, sebagai pengganti identitas KTP dan paspor yang dirasa kurang casual karena hanya ada dua pilihan status (kawin & belum kawin), FB dipermak sedemikian rupa oleh pemilik akun sehingga menjadi KTP plus-plus. Alhasil, hampir semua profil akun FB terdapat kutipan, motto, atau sebaris ucapan yang tak sekedar menunjukkan prinsip hidup pemilik akun, tapi juga status yang lebih jelas (berpacaran dengan siapa, dan berapa lama). Di profil ini pula, banyak yang lebih memilih menulis “ordinary life” dalam profil mereka ketimbang “aku tuh orangnya simple dan nggak suka ribet dalam hidup”.
Sebaris kalimat ini menggambarkan seluruh kepribadian pemilik akun. Tak usahlah repot-repot lagi membaca bentuk wajah, garis tangan, cara berjalan, dan karakter tulisan seseorang untuk mengetahui 5W dan 1 H personality mereka karena semua itu ada dalam satu baris kutipan dalam profil akun FB mereka. Ditambah dengan status yang terus di update, serta beberapa “catatan” dan foto/video, maka kamu akan tahu seperti apa dia. Bahkan tak jarang, untuk mempublikasikan jati diri, beberapa menulis sebuah puisi tentang dirinya dan kehidupan…sudah lengkap? Belum! Tak puas dengan FB, mereka membuat blog khusus yang menunjukkan siapa dirinya, dan bagaimana cerita hidupnya dibuat tak seperti diary konvensional yang hanya berisi untaian tanggal dan kejadian semata, tetapi dengan mem-posting tulisan-tulisan penting disertai underline, tanda seru dengan garis besar tebal, dan NB. Lagi-lagi, untuk mengisi catatan hidup, atas kehendak pemilik, sosmed bertransformasi.
Bagiku hidup mengalir, kemana dan kapan aliran itu berhenti, aku tidak tahu karena hidup dipenuhi nafsu penasaran yang tak pernah terpuaskan dan terbayar dengan hanya mengagumi keindahan. Aku serakah dengan dunia, dan bingung bagaimana mensyukuri hidup. Blog ini sebagai media kecil saja untuk meluapkan rasa penasaranku atas dunia dan kehidupan. Dan benar, dunia memang amat menggoda karena aku tak pernah puas dengan satu capaian atas rasa penasaran.
Memahami dunia adalah menyelaminya bersama alur, karena aku tak bisa mengibaratkan hidup hanya dengan satu baris kalimat. Bagi mereka yang doyan jalan-jalan, traveling tidaklah sekedar menikmati kepuasan atas rasa penasaran karena suguhan alam yang memesona. Pengalaman dalam perjalanan adalah hikayat. Komunikasi, budaya, dan konflik mengisinya. Belajar dari taveling adalah kerja keras yang tak terasa dalam memahami hidup, karena traveling adalah lompatan kecil berkali-kali ketika manusia tak bisa terbang.
Memahami dunia adalah menyelaminya bersama alur, karena aku tak bisa mengibaratkan hidup hanya dengan satu baris kalimat. Bagi mereka yang doyan jalan-jalan, traveling tidaklah sekedar menikmati kepuasan atas rasa penasaran karena suguhan alam yang memesona. Pengalaman dalam perjalanan adalah hikayat. Komunikasi, budaya, dan konflik mengisinya. Belajar dari taveling adalah kerja keras yang tak terasa dalam memahami hidup, karena traveling adalah lompatan kecil berkali-kali ketika manusia tak bisa terbang.
Cinta dan bangga tanah air adalah istilah semu yang kesepian, layaknya kejujuran yang tidak laku, tak dianggap. Bahkan anggapan dan penghargaan atas sikap cinta tanah air tak juga ada karena bukan jamannya lagi (lebih-lebih sejak upacara bendera hanya dicap sebagai formalitas). Hasilnya, karena malu, orang lebih menghargai dan mengagumi bangsa lain untuk menunjukkan dirinya cinta tanah air. Hal itu pula yang dirasakan oleh para traveler yang saya kagumi karena telah mereka mengarungi banyak kontinen.
Blog ini tidak mencakup traveling secara keseluruhan. Hanya, sekali lagi, alur yang mengalir, dari chauvinisme, dengan beberapa bumbu dramatis. Rasa penasaran atas tanah kelahiran membawaku tersesat pada jalan, gunung, bawah laut, alas, udara...
Wass…