Previous post here
Atmosfer
malam ibukota Cambodia ini persis seperti yang kubayangkan, tak semacet ibukota
negaraku. Maklum, populasinya tak lebih dari separo Jakarta. Sayup-sayup
klakson tak sekeras di MH Thamrin. Hanya lifestyle
pemuda pemudi yang mirip. Boncengan rangkul2an naik motor sambil kebut2an.
Nongkrong bawah jembatan, depan mall, dan sepanjang trotoar.
Sesuai
janji pak travel, bis Kumho tiba di Phnom Penh pukul sembilan tet! Sesuai janji
mister Damian juga, dia akan menjemputku disini. Aku turun dan berpisah dengan
mister Jim (American), Marry (Singaporean), dan Shuo (Japanese) yang ku temui
di restoran saat bis rehat tadi sore. Tak sampai 5 menit, seorang pemuda bule datang
memarkir sepeda BMX-nya dan duduk di depan booth Kumho. Aku hampiri dan kusapa
lebih dulu. Persis seperti profilnya, mister Damian memang sumeh. Senyumnya lebar membalas sapaanku. Setelah kenalan, segera
kami meluncur menuju rumah kosnya yang berjarak sekitar 15 menit jalan kaki
dari sini.
Kami berjalan sambil berkenalan lebih jauh. Sudah hampir 2 tahun dia meninggalkan negara asalnya, meksiko, untuk belajar dan mengajar bahasa disini. Tak dapat kubantah, otak kirinya memang canggih. Belasan bahasa dia kuasai, termasuk Korean, Chinese, dan Indonesian. Ya, yang pertama dia katakan adalah “itu wanita cantik” dan mengajarkan padaku “khnyom ckmoh Adi” (namaku Adi). Dia hampir bisa bertegur sapa pada siapapun orang asing yang dia temui. Ckckckck….!
Di jalan kami berjumpa orang Indonesia di sebuah warung. Kaget juga, walaupun bukan negara tujuan TKI, tapi banyak WNI yang bermukim disini. Yah, ujung2nya dapet traktiran es jus dan tempe penyet deh, ahaha. Mau nyobain telur bayi (telur bebek yg sudah berisi bayi) nggak mau, takut kesedak (mau bilang jijik malu, takut digampar… :p )
Hampir
sejam kami habiskan ngobrol dengan mereka. Pukul 10 lebih kami sampai di tempat
Damian. Well, segera kuluruskan pinggangku diatas hammock. Hhhhhhhhhhhhhhh,
nikmatnya.
Next day, in the morning: