Catatan pra-karantina
Ditengah hiruk-pikuk perkotaan, kepadatan penduduk, polusi, dan egoisme mengejar modernitas, masih terdapat kebersamaan, guyub rukun, dan semilir angin pedesaan komplit dengan seni budaya tradisional turun temurun. Kemiren, adalah sebuah desa di Kecamatan Glagah yang memegang teguh warisan budaya tradisional itu. Sekilas desa ini tampak seperti biasa, sama dengan beberapa tipe desa pada umumnya di Indonesia. Kalau diamati lebih lekat, ketradisionalan itu tampak dari perilaku masyarakat yang mayoritas petani ini. Logat using yang masih kental dan asli, serta beragam tradisi khas using termasuk rumah adat, bisa kamu nikmati disini. Tidak perlu malu menyapa mereka karena mereka sangat terbuka dan welkam. Kekaguman pertamaku diawali dari ke-gayeng-an ngobrol dengan mereka saat aku tanya arah menuju rumah kepala desa Kemiren.
Masih janggal rasanya kalau hanya menikmati pemandangan alam di desa ini. Bukan hanya keindahan alam saja seperti halnya wisata yang ditawarkan di tampat lain, keunikan lain yang akan kamu temukan adalah kesamaan kasur di semua rumah *loh???* mulai dari bahan hingga warna, sama semua. “Yo gedigi iki mas, podho kabyeh sekampung,” (ya begini ini mas, sama semua sedesa) tutur Edi, salah seorang seniman Kemiren yang sering mewakili Indonesia ke ajang seni di beberapa negara. Silakan cari dipelosok negeri di tujuh benua tujuh samudera bumi ini, dimana ada desa dengan kesamaan seperti itu. Mungkin yang kamu temukan hanyalah kasur dengan merek “made in”.
Kamu bisa menemukan keluarga baru disini. Tipe wisata yang ditawarkan adalah homestay. Selama beberapa hari atau beberapa minggu, kamu tinggal di salah satu atau beberapa rumah dengan segala aktivitas bersama keluarga setempat, seperti bercocok tanam, berkebun, bersawah, dan lain-lain termasuk ikut menyiapkan pesta adat. Pada saat tinggal inilah kamu akan merasakan menjadi lare using. Itung-itung sekalian belajar boso osing. Tarif tidak berlaku. Kalau kamu ikut makan sekalian, ya kasih uang belanja lah. Di desa yang hijau dan asri lengkap dengan pepohonan khas dataran sedang, kamu telah mengaktifkan mesin waktu kembali pada masa kanak-kanak dengan tradisi baru. Benar-benar melunakkan hati, menyegarkan pikiran, menyejukkan jiwa, dan melupakan polusi :).
Tidak berhenti disitu, pernah dengar mocoan lontar Yusuf? Tradisi ini merupakan pembacaan/mocoan (kata dasar baca/moco dalam Bahasa Jawa) sastra kuno cerita nabi Yusuf mulai dari sinom (sejarah) pangkur (kehidupan dan alam), kasmaran (asmara), serta durmo (doa-doa). Awalnya, bacaan itu ditulis diatas daun lontar sebelum ditulis dikertas. Cara menembangkan sama dengan cara Jogja menggunakan laras selendro. Mana yang asli? Banjoewangi atau Djogdja? Menurut Bernard Aps, mocoan lontar versi Banyuwangian ini merupakan yang asli. Lontar ini berbahasa Kawi dengan tulisan Arab, dibaca oleh orang Banyuwangi. Tradisi turun-temurun sejak ratusan tahun itu masih eksis hingga kini, tiga kali seminggu (malam rabu, malam sabtu dan malam minggu). Kalau kamu ingin belajar lontar ini, mereka akan menerimamu dengan sangat senang hati. Perhelatan moco lontar dilaksanakan di rumah berbeda secara bergilir, mirip yasinan/tahlilan kalau di desaku.
Disini juga sering terjadi perang lho…perang mulut! Mereka menyebutnya “perang bangkat”. Perang bangkat adalah perang mulut antara pihak mempelai pria dan wanita menjelang upacara perkawinan. Tradisi ini dilaksanakan bila kedua mempelai sama-sama bungsu atau sulung, atau bungsu lawan sulung. Perang bangkat diawali dengan segerombolan iring-iringan mempelai pria ke tempat pengantin putri untuk “menculik” sang putri. Setiba di pintu gerbang berupa seutas kain jarik, pengantin putri menanyakan keperluan “gerombolan illegal” itu. Begitu tahu bahwa maksud kedatangannya adalah melamar sang putri, seketika penjaga gerbang marah dan menolak mentah-mentah. Ketika suasana sudah memanas, ketua rombongan mempelai pria malah memaksa, akhirnya pecahlah peperangan. Keduanya bertarung menggunakan senjata dapur: sendok kuah, dandang, kelapa, gayung, telur, ayam hidup, wajan, dll. Ternyata penjaga gerbang kalah. Singkat omong, akhirnya lamaran diterima, dengan syarat, upeti. Berbagai upeti pun diserahkan kepada mempelai perempuan seperti bantal guling dan lain-lain. Perang telah usai, berakhir dengan dipertemukannya pasangan. Lalu keduanya salaman dan didoakan oleh sesepuh. Senjata dapur dan atribut lain yang digunakan dalam perang tidak asal-asalan dipilih. Mereka merupakan simbol yang mewakili kehidupan dan rumah tangga.
Barong
Tradisi lain di desa Kemiren adalah Barong Ider Bumi (ider=keliling/arakan). Ini merupakan kegiatan rutin setiap tahun pada hari ke-2 idul fitri. Dalam kegiatan ini dilaksanakan arak-arakan barong dengan harapan agar gusti Allah memberikan keselamatan dan kesejahteraan.
Barong berbentuk topeng sebagai penggambaran hewan yang menakutkan, dalam mitologi masyarakat using di percaya sebagai lambang kebaikan yang mempunyai kemampuan untuk mengusir pengaruh-pengaruh jahat. Itulah kenapa Barong dijadikan ikon Kemiren.
Barong (behind the scene)
Barong dimainkan oleh dua orang dengan iringan gamelan. Barong biasanya juga digunakan pada prosesi khitanan. Hal ini dimaksudkan untuk mengusir pengaruh jahat agar dalam kehidupan mendatang mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan.
Di acara ritual ini, atraksi menarik yang bisa kamu saksikan adalah:
-Sedekah Syawal diadakan sehari sebelum Idul Fitri, tiap keluarga bergantian mengadakan selamatan kupat-lepet dan berbagai kue tradisional di sajikan untuk para pengunjung.
-Prosesi upacara diawali dengan mengarak tumpeng pecel pitik (ayam) keliling desa yang dipimpin oleh Barong di pandu sesepuh desa dengan menyebarkan uang logam beserta beras kuning (using: sembur othik-othik) sepanjang jalan. Hal ini dilakukan dengan maksud membuang sengkala dan mengusir pengaruh-pengaruh jahat agar masyarakat di beri kemakmuran dan keselamatan. Arak-arakan diikuti seluruh elemen masyarakat desa, di semarakkan dengan bunyi-bunyian musik tradisional using seperti: angklung paglak, kuntulan, gembrung, dan lain-lain. Tak ketinggalan Bupati turut mengarak prosesi dengan naik dokar diikuti sesepuh desa dan beberapa komunitas seprti komunitas sepeda.
-Barong diarak sepajang 2 km dengan rute start finish di lokasi yang sama. Barong diberangkatkan pukul 02.00 WIB ke arah barat serta kembali lagi ke garis start. Tiap keluarga membuat tumpeng pecel pitik. Usai arak-arakan ider bumi, sebelum matahari terbenam, semua tumpeng di letakkan dan ditata sepanjang jalan utama desa. Tanpa meja, tanpa kursi, hanya beralas tikar. Setelah didoai oleh kyai, tumpeng dan pecel pitik di makam bersama-sama pengunjung dan sanak keluarga yang hadir. Tak ingin luput, aku ikut menyantap *enyak-enyak!!!*.
Adalah Buyut Cili, danyang desa Kemiren yang dipercaya melindungi desa Kemiren serta memiliki pengaruh besar pada setiap tradisi desa. Masyarakat seringkali nyekar di makam Buyut Cili setiap malam Senin dan Jumat, baik warga desa Kemiren maupun luar desa khususnya masyarakat Banyuwangi. Makam “penghuni pertama” desa Kemiren ini berada sekitar 500 meter selatan desa terletak in the middle of sawah.
Nyekar disetai selametan tumpeng berupa makanan khas suku using Kemiren yaitu pecel pitik sebagai sesajen disertai dengan kinangan (alat kinang) dan satu pak rokok utuh, masih bersegel plastik tanpa cacat. Sebelum diletakkan diatas makam, semua sesajen dilarang terkontaminasi mulut manusia *no cicip!*. Setelah buyut didoakan, pecel pitik halal untuk disantap.
Kenapa Buyut Cili?
Buyut dalam bahasa Jawa berarti orang tua/sesepuh, sedangkan Cili berarti ngili dalam bahasa using yang berarti mengungsi. Dia adalah seorang petapan sakti yang mengungsi dari kerajaan Macan Putih lalu menetap di sebuah tempat yang saat itu berupa hutan/pepohonan kemiri dan duren. Singkat omong, jadilah tempat ini Kemiren. Masyarkat Kemiren yang akan berhajat, mengadakan slametan di makam ini terlebih dahulu dengan harapan agar dalam pelaksanaannya selamat dan mendapat barokah.
Menjelang Idul Adha, tradisi super langka juga berlangsung di desa ini, mepe kasur (menjemur kasur). Seluruh masyarakat desa mengeluarkan kasur untuk dijemur. Kasur cemeng ambi abyang (hitam dan merah) itu dijemur di depan rumah masing-masing.
Kalau sedang dilaksanakan tradisi baik itu sunatan, perang bangkat, maupun tradisi yang lain (barong, angklung, gandrung, jaranan, mepe kasur, tumpeng sewu) maka penonton akan tumpah di jalan. Keramaian menyeruak. Baik berasal dari desa Kemiren sendiri ataupun luar daerah termasuk peneliti dan turis.
Tumpeng Sewu
Inilah gawe besar masyarakat using yang WAJIB kamu ikuti. Tumpeng Sewu dilaksanakan sehari setelah mepe kasur. Tradisi ini dilaksanakan pada malam senin atau malam jumat minggu pertama bulan Dzulhijjah. Setiap kepala keluarga desa Kemiren membuat tumpeng pecel pitik untuk diletakkan disepanjang jalan utama desa. Tumpeng Sewu dilaksanakan sepanjang jalan desa diawali dengan arak-arakan obor blarak (obor dari daun kelapa kering). Sejak sore, jalan ditutup. Pun tak diperkenankan lampu listrik menyala baik di dalam rumah maupun di jalan. Yang ada hanyalah gelap. Disepanjang tepi jalan telah berdiri dan menunggu dengan tegang, sederetan ajug-ajug (tongkat perapian) yang akan menyambut sebuah momen mengejutkan setiap tahun. Ajug-ajug ini akan disulut ketika arak-arakan melewatinya. Ajug-ajug terbuat dari sepotong bambu dengan alas yang terikat lebar sehingga dengan tinggi tak lebih dari semeter, tanpa perlu ditancapkan atau digantung, ia dapat berdiri.
Menjelang Maghrib suasana makin tak tentu karena selain tanpa cahaya, ibarat semua orang menanti sebuah “something” selama setahun lamanya dan
hanya berlangsung satu kali, satu hari pula.
Prosesi diawali dengan selametan di makam Buyut Cili ba’da Ashar. Menjelang Maghrib, dilakukan pengambilan mata api (sumber api) di Buyut Cili untuk menyulut obor blarak. Obor blarak ini nantinya digunakan untuk menghidupi ajug-ajug yang dipasang disepanjang jalan utama desa.
Mengambil start di makam Buyut Cili inilah, pawai arak-arakan berjalan menuju balai desa Kemiren sebagai panggung utama sambil menyalakan ajug-ajug yang ada disepanjang jalan. Kiri kanan jalan tak bersekat. Shaf penuh dengan jama’ah Tumpeng Sewu.
Pawai arak-arakan terdiri dari Barong, Kuntulan, Bordah, dan Jaran Kencak. Sesampai di panggung utama, pawai disambut dengan angklung paglak, tabuhan gero, angklung caruk, gedhogan dan pesta kembang api. Inilah puncak keramaianTumpeng Sewu, banjir manusia. Setelah itu dilanjutkan dengan menyulut sisa ajug-ajug sepanjang jalan utama di timur dan barat balai desa hingga ujung perbatasan. Seketika semebyar padang suasana.
Prosesi dilanjutkan dengan doa bersama di masjid pusat desa, Nur Huda, dipimpin ketua ta’mir. Begitu pula dengan seluruh mushola di Kemiren. Semua serempak membahanakan doa bersama.
Nah, selanjutnya acara santap tumpeng. Kamu bisa ikut makan sepuasnya disepanjang jalan yang penuh dengan tumpeng, GRATIS!
Sudah selesai? Oh, ternyata belum. Setelah shalat Isya acara dilanjutkan dengan hiburan rakyat semalam suntuk. Barong, tarian daerah, mocoan lontar Yusuf, Gandrung, dan beragam atraksi lainnya digelar sampai menjelang matahari terbit.
Tak kurang-kurang, dalam ritual ini beberapa provider telekomunikasi ikut menjeburkan diri sebagai sponsor. Spanduk, kaos, dan atribut lain khas sponsorship menyambut setiap dan seluruh tamu yang menyaksikan.
Siapa Bernard?
Bernard Aps, adalah profesor asal Belanda mengajar Sastra Indonesia di Universitas Leiden. Dia menghabiskan waktu berbulan-bulan selama beberapa tahun di Kemiren belajar Kendang Gandrung Banyuwangi mulai dari Jejer Gandrung, gendhing-gendhing pajuan, repenan, sampai seblang subuh sebagai penutup Gandrung. Pak Buhari, Maestro Kendang Gandrung Banyuwangi adalah “guru praktikum”nya. Ditempat inilah Bernard menghabiskan waktu gesah dengan masyarakat Kemiren. Jangan salah bos, dia puinter berbahasa using. Sumpe, ane kalah! Dia juga menguasai wangsalan dan basanan, seni pantun using.
Dulunya, Bernard adalah mahasiswa di STSI Solo (eh, Solo atau Jojga ya?lupa) jurusan Karawitan. Jumilah, istri Bernard yang juga seorang mahasiswa jurusan sinden, didapatkannya ketika kuliah di STSI. Ayahnya seorang dokter, ditugaskan di Bandung pada jaman penjajahan Belanda. Pernah dibawa ke Kemiren beberapa waktu lalu.
Enam bulan kedatangan pertamanya di Kemiren, kang Bernard ngekos di rumah Pak Husein, Lateng (kampung arab). Setiap hari PP Kemiren-Lateng bersepeda Suzuki Bravo, membuatnya menjadi artis Banyuwangian pendatang baru paling tersohor kala itu. Dua anak pertamanya, Wasisto dan Arnold, bersekolah di SD mojopanggung. Sedangkan Utari, sang bungsu saat itu masih bayi.
Penikmat sayur semanggi dan ikan wader ini fasih moco lontar Yusuf, sekaligus mempelajari perbandingan lontar Yusuf Banyuwangi dengan Jogja. Yang unik dari kang Bernard adalah dia tak pernah menolak makanan pemberian. It’s all around you as an actress…
Selama di Kemiren, Dia juga mempelajari beberapa gendhing Banyuwangian: Ugo-ugo Kemanten, Santri Moleh, Jaran Dhawuk Kemiren, Erang-erang, Gurit Mangir, Kertas Mabur, Ijo-ijo Kenongo, Embat-embat, Krimping Sawi, Layar Kumendhung, Sekar Jenang, Opak Apem, dll.
Ditempat Bernard belajar inilah, aku menyempatkan diri "berguru" alat musik pada putra dari sang guru yang mengajar Bernard. Itung-itung biar bisa ketularan ilmunya. Ehehe...
Bernard memiliki sanggar Kendang dengan seperangkat alat gamelan yang didirikan bersama para cs-nya di Belanda. Pengalaman menarik dari sanggar ini adalah dia pernah kehilangn sebuah instrumen sewaktu dirinya bertugas di Amerika. Anehnya, malah ketemu di Balai lelang disebuah kota di Belanda. Dan dia menebusnya. Sanggar ini juga pernah digerebek satpol PP karena dilaporkan tetangganya membuat gaduh. Therefore, oleh Bernard sanggar tersebut direlokasi ke pinggiran kota.
Bernard memiliki sanggar Kendang dengan seperangkat alat gamelan yang didirikan bersama para cs-nya di Belanda. Pengalaman menarik dari sanggar ini adalah dia pernah kehilangn sebuah instrumen sewaktu dirinya bertugas di Amerika. Anehnya, malah ketemu di Balai lelang disebuah kota di Belanda. Dan dia menebusnya. Sanggar ini juga pernah digerebek satpol PP karena dilaporkan tetangganya membuat gaduh. Therefore, oleh Bernard sanggar tersebut direlokasi ke pinggiran kota.
Beberapa waktu lalu, saat kontingen kesenian Banyuwangi tampil di Belanda selama beberapa hari, mereka diajak ke rumah Bernard. Dirumah inilah, semua kontingen merasakan nasi dan sambel*Oh! Ternyata ada beras di sana*. Mereka pulang tanpa membawa alat musik karena semuanya diborong oleh Bernard.
Reaching Barong
Jalan termudah untuk mencapai Kemiren adalah perlimaan Banyuwangi kota ke arah barat lurus sejauh 7 km seberangi rel kereta.
Dari arah selatan satu jalur dengan bis kota arah Ketapang/Situbondoàperempatan Brawijaya/Cungking ke arah barat
Dari Utara jalur bis jurusan Ketapang-Jemberàperempatan Brawijaya/Cungking ke arah barat .
Pertigaan sebelum masuk desa ini terdapat patung Barong sebagai simbol kebesaran Kemiren. Setelah itu kamu akan diperingatkan oleh gapura yang menandakan Kemiren sebagai kawasan desa wisata. Atmosfer desa Kemiren sudah tercium sejak mulut desa sebelum gapura Kemiren karena tampak kahanan kiri-kanan jalan adem ayem. Pelankan kendaraanmu dan amati lekat-lekat ketika kamu mencium kahanan di jalan utama. Kan lebih asik kalau kamu masuk lorong-lorong desa. This is truly “amazing using”!!!
No comments:
Post a Comment