Jika
India mempunyai sungai yang disakralkan dan Meksiko memiliki Calakmul dari
Bangsa Maya, ternyata, selain memiliki hutan tertua di Jawa, Banyuwangi
memiliki Buyut Cili sebagai salah satu tempat sakral. Terletak di desa Kemiren,
kecamatan Glagah, makam Buyut Cili tidak hanya menjadi rujukan masyarakat using
sebelum menunaikan hajatan, tetapi juga para pendatang dan pelancong.
Beruntung, saya ikut menikmati momen “nyekar” di makam Buyut Cili ini pada saat
karantina finalis Jebeng Thulik, sebuah momen yang tidak saya peroleh di tempat
lain.
Jebeng Thulik bagi saya bukanlah ajang untuk menjadi nomor satu, melainkan
sebuah wadah membangun karakter dan memupuk kearifan lokal. Itu semua tampak
pada saat karantina finalis Jebeng Thulik yang saya ikuti. Karantina ini ibarat
sekolah non formal yang didalamnya berisi murid-murid terpilih. Kelas yang
mengalir santai namun tetap fokus pada pembekalan dan materi tanpa ada kesan kontes
didalamnya apalagi kontes kecantikan dan ketampanan untuk menjadi pemenang,
karena setiap orang memiliki kelebihan masing-masing yang dianugerahkan Tuhan. Dengan
bertukar pikiran, mengasah mental, dan menjalin persaudaraan antar peserta,
proses karantina Jebeng Thulik berjalan dengan casual, ringan, dan penuh cerita
serta jauh dari kesan “lomba”. Pada awal karantina, kami dibimbing oleh panitia
dan senior untuk mengenal Banyuwangi lebih dekat melalui interaksi dengan warga
lokal, menyambangi spot spot budaya dan heritage yang tidak saya ketahui
sebelumya seperti mengunjungi makam Buyut Cili dan berdiskusi dengan kelompok
seni. Bahkan secara langsung berdiskusi dengan Gandrung Temuk, Gandrung yang
sudah kondang dengan suara emas dan gemulai tarinya.
Pada
hari berikutnya kami bermain beragam game seru yang unik, permainan kelompok
yang menguji kekompakan serta kemandirian peserta sehingga peserta lebih empati
dan mengenal sosok satu sama lain dengan lebih dekat. Kami berbaur dengan induk
semang selaku suku using asli, selama masa karantina, sejak bangun sampai
menjelang tidur. Semua aktivitas mereka kami ikuti, pergi ke sawah, bermain di
sungai, memasak di dapur, apapun, semuanya. Ya, merekalah orang tua kami selama
masa karantina. Bahkan kami juga berkunjung dan gotong royong membantu pelaksanaan
pesta perkawinan adat suku using yang sedang berlangsung saat itu. Unik,
meriah, lucu :D
Masa
pertengahan karantina, kami dibekali kemampuan public speaking, bahasa inggris, tari Banyuwangi, sistem
pemerintahan dan kebijakan publik di Banyuwangi, serta pemahaman tentang batik
Banyuwangi. Rupanya selama ini pemaknaan saya terhadap batik keliru. Saya pikir
semua batik di Indonesia sama. Namun begitu melihat cantiknya motif batik
dengan beragam corak khas batik using, saya paham betapa Banyuwangi kaya akan
seni, bukan hanya tari dan lagu, tetapi juga seni lukis batik. Lebih kaget lagi
ketika saya dihadiahi oleh panitia sebuah novel berbahasa using, Pereng Puthuk
Giri. Ini menunjukkan betapa karya sastra tulis telah menghias masyarakat using
dari dulu hingga kini. Sejauh yang saya tahu, hanya sastra lisan, basanan dan wangsalan lah yang kerap kali saya dengar di beberapa syair lagu
Banyuwangi, namun ternyata sastra tulis turut mengilhami kehidupan mereka serta
mempu menyatukan kekunoan dan kekinian masyarakat using ini. Pantas saja
mayoritas seniman Banyuwangi multitalenta karena rupanya kota Gandrung ini,
tempat kelahiran saya, adalah gudang seni dan lahan bakat yang mampu
menumbuhkan bakat seni apapun dengan subur. Dan Jebeng Thulik inilah, salah
satu pupuk lokal yang manjur!
Menjelang
akhir karantina, Bupati, Kapolres beserta jajaran menghadiri acara malam karantina
kami di Kemiren. Kami berdiskusi dengan gayeng hingga larut malam. Diskusi yang
mengetengahkan persoalan budaya dan pemuda ini semakin mempertajam pisau
analisis kami tentang budaya dan kearifan lokal. Ditambah lagi dengan semua
kelebihan yang dimiliki Banyuwangi seperti terukir dalam syair Umbul-Umbul
Blambangan: “Banyuwangi, kulon gunung
wetan segoro, lor lan kidul alas angker keliwat liwat”, Banyuwangi menjelma
sebagai penyangga budaya di timur Jawa, dan sangat potensial menjadi kabupaten
produktif yang menghasilkan produk unggulan berkualitas termasuk industri pariwisata
melalui tangan-tangan kreatif pemuda, siapa lagi kalau bukan kita.
Semua
yang saya peroleh selama masa karantina adalah bekal, pengalaman, dan pelajaran
berharga yang tidak saya dapatkan di bangku sekolah dan selama kuliah. Disini
saya lebih mengenal dan mencintai Banyuwangi. Dan disini pula saya menemukan
kawan-kawan yang luar biasa. Jauh di angan, tertanam keinginan saya mengajak
seluruh pemuda Banyuwangi ikut serta menjadi bagian dari event tahunan yang
luar biasa ini. Tak ada janji apa yang akan didapat, namun ada sebuah harapan
besar disana, di pundak kitalah nantinya masa depan tertumpu. Paling tidak
kelak anda bisa meneruskan tulisan saya menjadi coretan pengalaman yang lebih seru,
dramatis, dan tak akan pernah anda lupakan. Yakinlah, seperti halnya kita yang
ingin memulai menulis hari ini, bahwa tak peduli apakah kelak tulisan kita
berguna, tulislah, apapun hasilnya.
Ndeleng barong Kemiren liwat Bakungan
Kadung mulih mampiro Rogojampi
Isun bengen seng paham
Kadung Buyut Cili ono ring Banyuwangi
Olehsari seblange perawan
Ulo gatotkoco ring omproke Gandrung
Kang Adi seng biso wangsalan
Semene kanggo riko, isun cukupi sulung
Melbourne,
7 September 2013