Monday, April 20, 2015

Rona Biru Taman Laut Blambangan, Wisata Bahari dalam Bingkai Kelestarian Alam

midnight shot
 Bila dilihat sekilas, pemandangan kota Muncar tampak biasa saja. Namun, hampir semua orang yang mengunjunginya pasti tahu tak jauh dari pusat kota ini berdiri sederet pabrik pengolahan ikan dan hasil laut lengkap dengan pemandangan indahnya. Ya, sebuah pantai panjang dengan selat Bali di ujung  timur menjadi tujuan saya kali ini.

Muncar, sebuah pelabuhan ikan dengan armada pantai tak kurang dari 5 ribu unit menjadikannya pelabuhan ikan terbesar di Indonesia. Selain menangkap dan mengolah ikan, aktivitas nelayan menghias perahu selalu jadi pemandangan unik disini. Dengan ladang laut yang amat luas, para nelayan tak hanya menangkap ikan di sekitar selat Bali tetapi juga Samudera Indonesia. Maka dari itu tak heran padatnya lalu lintas nelayan 24 jam selalu menjadi pemandangan umum di pelabuhan ikan ini. Titik kunjungan saya kali ini adalah banyu biru, sebuah zona konservasi taman laut tak jauh di timur pelabuhan Muncar.

floating house

Lima belas menit berkendara dari pusat kota ke arah timur, bau khas pelabuhan sudah mulai tercium. Malam ini saya akan menuju rumah singgah yang telah disediakan oleh relawan disana untuk berlepas ke pantai dini hari nanti.



...



morning java!
Agak tidak lazim mengawali perjalanan wisata dini hari dengan cara menaiki perahu nelayan seperti yang saya lakukan saat beranjak dari pelabuhan Muncar pukul 02.00. Saya duduk di bagian tengah perahu milik salah satu nelayan Muncar. Saya meluncur bersama 6 kawan lain meninggalkan pelabuhan besar menuju teluk banyubiru. Saya habiskan separo perjalanan dengan mengamati selat bali dan Sembulungan, ujung utara Semenanjung Blambangan. Sisanya saya sempatkan untuk tidur.

Saat bangun, rumah apung yang terdapat di tengah laut menyambut kedatangan kami. Saya mampir sejenak. Dari sini kami menyaksikan sejumlah bagan apung tersebar di lautan sebagai alat jaring pasif nelayan, di sebelah selatan adalah alas purwo yang gagah dan rupawan, serta siraman mentari di ufuk timur penanda cakrawala fajar. Ah, bibir kami tersenyum lebar mensyukuri eloknya pagi ini. Kini saya tahu kenapa kota gandrung ini pantas menyandang gelar The Sunrise of Java.


Setelah istirahat dan berenang di sekitar rumah apung, kami menuju titik konservasi terumbu karang. Dasar laut tampak dari atas berwarna cokelat abu abu terlihat jelas betapa parahnya kerusakan terumbu karang disini. Perahu jukung perlahan-lahan menyusuri tiap petak laut seraya kami merenung andai terumbu karang ini tak pernah diperlakukan kasar, tak pernah dijarah dan dirusak, hari ini mereka pasti lebih cantik daripada bunaken, sungguh!

indulge me
Menuju ke titik konservasi ketiga, kerusakan masih minim tak separah dua titik sebelumnya. Namun masih tetap memerlukan penanganan. Kami menanam terumbu karang bersama nelayan dan beberapa wisatawan serta mahasiswa yang sedang terjun lapangan. Semua terlibat dalam penanaman. Inilah sebuah makna tanggung jawab sebenarnya dalam bingkai kelestarian alam.



Usai menanam di tiga titik tersebut, kami sempatkan mengelilingi sisa banyubiru yang masih terawat. Kami ber senorkel sembari menikmati keindahan bawah laut. Sisa teluk banyubiru ini tak kalah menarik dengan rumah nemo. Ribuan ikan dan terumbu karang pelangi tersenyum pada kami.  Kami berjanji akan kembali.


Wisata berkelanjutan bermodal jukung nelayan ini cocok bagi mereka yang tak sekedar berkelit dari gempita metropolitan, tetapi juga penggiat alam yang ingin terus melestarikan wisata berkelanjutan.