Thursday, December 5, 2013

WHV 10 (Asparagus Boy)

Previous post here

05 Desember 2013

Dari Melbourne ke Mildura. 
Take Vline train and change to Bendigo with coach to Mildura. Saya tiba di Mildura. Kota kecil nan luas ini memiliki sumber penghasilan utama kebun (anggur, sayur, buah, kacang2an). Mayoritas pekerjanya orang asing dari berbagai belahan bumi termasuk Banyuwangi, saya salah satunya. Saya mulai bekerja di kebun sayur minggu pertama Desember. Di sebuah pabrik kecil dalam kebun sayur inilah saya menghasilkan rata-rata Rp 1,5 juta perhari hanya dengan berdiri 8 jam. Lumayan bingit ndrooo! Jangan kaget, itu belum seberapa dibanding pekerja yang memetik sayur asparagus, bisa Rp 2-2,5 juta per hari. It is  BLOODY. Kalau dibanding seorang IT operator di Bank ANZ wah, jangan ditanya lagi, perharinya Rp 5 juta *Busyet! jangan pingsan ndro!


Jobdesc saya adalah packing sayur asparagus, memasukkan sayur dari box ke dalam mesin pembersih dan pemotong. Thats it. So simple. 

Asparagus siap panen

Asparagus land


NEXT: WHV 11

Tuesday, December 3, 2013

WHV 9 (From Warming to Farming)

Previous post here
Photos here


Tak terasa 3 bulan sudah saya di Adelaide. Kota damai ini kini menyambut datangnya musim panas. Angka 16 akan segera menghangat menjadi 45 derajat celcius! Seperti di film-film Inggris, pepohonan di tepi jalan akan merinding *eh kliru, merindang. Daun akan tampak warna warni, ungu, merah, dan oranye. Taman pun akan lebih ramai pengunjung. Kali ini saya dapat kesempatan mencoba hal baru. Saudara saya yang bekerja di kebun di negara bagian Victoria menghubungi saya menawari untuk bekerja di kebun sayur dan buah. Hurrray…!


Dengan berakhirnya musim dingin di Adelaide, berakhir pula masa 3 bulan saya di kota damai ini. Kota yang menyuguhkan keteduhan tanpa hiruk pikuk kemacetan lalu lintas, kota yang teduh dari polusi, dan kota seribu festival ini telah menggembleng`saya dengan pengalaman hebat nan seru. Kota menawan berjuta kenangan. Mengetahui lebih jauh tentang aborigin di South Australian Museum, Menikmati surga belanja di Central Market, Kampus Flinders, UniSa, Uni Adelaide, OzAsia Festival di Elder Park, Keliling Jacobs Creek dan Black Hill National Conservation Park, Sholat Idul Adha di Bonython Park, SA Film Center, explorasi Marion Coastal Walk bersama Aji, dan banyak banyak lagi. Banyakkkkkkkk!!!










03 Desember 2013

Say bye to Adelaiders. Terimakasih banyak untuk bupati Adelaide yang telah mengijinkan saya singgah di kabupaten ini selama 3 bulan. Pengalaman tak terhitung jumlahnya dan tak ternilai harganya dibanding mata uang manapun di dunia. Semua kawan2 baru yang saya jumpai di Adelaide dan tak bisa saya sebutkan satu persatu, dari Singapura, Malaysia, Vietnam, Jepang, Meksiko, Ekuador, Filipina, Korea, Cina, Hongkong, NZ, Rusia, India, Italy, Perancis, dan Surabaya. *suwun seng akeh ndroo

Flight ADL-MEL by Tiger Airways.


Nginep lagi di rumah Ana. Nadine udah bisa jalan, iya jalannnnn. Itu berarti sebentar lagi dia akan berlari, lalu minta duwit buat beli es dan permen :p

NEXT: WHV 10

Monday, November 11, 2013

WHV 8 (JOBSSS)

Previous post here

Selang beberapa hari, mas Fazli (mahasiswa Uni Adelaide dari Malaysia) yang juga part time di De Sate mereferensikan saya untuk kerja cleaning di bioskop bersamanya. Weeewh….money money, bloody money.

Kerja di bioskop susah susah gampang. Apalagi menyandang jabatan sebagai klining serpis. Susahnya pas weekend atau box office, semua cinema selalu penuh popcorn, bungkus makanan berserakan di dinding, lantai, dan toilet jarang disiram, auch! Jangan sangka cleaning di bioskop sebatas ruang cinema saja. Toilet pun juga harus dipel, disiram, dan ganti popok, eh kliru, tisu maksudnya. Butuh 3-4 jam untuk menyelesaikan klining per malam di bioskop. Start pukul 00.00 finish subuh, 60 dolar

Kerjaan di Australia gampang dicari asal gigih, ulet (dan rajin berdoa). Cara paling gampang adalah bergabung di bursa kerja online dengan prinsip siapa cepat dia dapat. Banyak situs website yang menyediakan informasi lowongan pekerjaan dengan tag “urgently required 1 position as…blab la bla….)” atau “we need 2-3 hardworker…cas cis cus…). Tinggal cek periode posting setiap pekerjaan, jika periode posting “just now” berarti masih fresh, langsung hajar poster lewat tlp. “1 hour ago” lumayan lah masih baru. “6-12 hours ago” mungkin kamu masuk pelamar ke sekian puluh kalinya. Jika mereka membutuhkan pelamar dalam jumlah besar, kemungkinan diterima juga besar. “1 day ago” atau “2 days ago”, mmm…pikir pikir dulu deh. Satu hal lagi, seperti halnya di Indo, CV/resume penting untuk melamar pekerjaan, dan jangan lupa sertakan referensi yang kompeten yang bisa dihubungi. CV/resume biasanya bisa dikirim melalui email poster, tergantung apa isi pesan lowongan pekerjaan yang ditulis poster. Jika kita diminta mengirim email, sebaiknya lakukan, dan jika hanya disuruh menelpon, sebaiknya hubungi langsung melalui telpon. Seperti yang saya lakukan, saya menghubungi langsung melalui telepon poster yang memasang lowongan kerja di situs gumtree.com.au dengan tag “11 mins ago”. Saya penelepon pertama dan saya diterima, itu berarti saya benar-benar DITERIMA!


Bisa dibayangkan betapa capek dan mumetnya kerja mondar-mandir di 4 tempat kerja berbeda. Restoran, catalogue delivery, fastfood, dan bioskop. 4-11 PM De Sate, 12-04 AM bioskop, 07-10 AM fast food, 01-03 PM loper. Tidur 5 jam perhari bagi saya sesuatu banget!

NEXT: WHV 9

Tuesday, November 5, 2013

WHV 7 (@De sate)

Previous post here


Hari, minggu, bulan…Di De Sate saya kenal beberapa pelanggan setia yang datang hampir setiap minggu, setiap hari malah, baik bule lokal, eropa, asia, afrika, sampai orang Kediri. Kami ngobrol panjang lebar sambil menghidangkan makanan. Banyak bule pandai bercakap bahasa Indonesia. Ada yang sedang bertunangan dengan orang indo, jadi sering kesini untuk mengasah bahasa biar fasih berucap “saya terima nikahnya”, ada yang ngefans berat dengan taman nasional di Indonesia dan tak sabar ingin segera ke wakatobi, ada si importir yang merangkap jadi tukang cukur, ada pula yang pernah tinggal lama di Banyuwangi sambil terkejut tidak percaya saya dari Banyuwangi (oh, howcome???? katanya), bahkan ada yang penasaran ingin ke Indonesia hanya gara2 penasaran dengan nangka *omaygat!

Saya tak lagi tinggal dengan Aji. Saya tinggal serumah dengan pemilik restoran (beruntung banget kannnn?!), mbak Ari, Om herman dan tante Heni. Oh ya, satu lagi. Si cantik Lucy, anjing lucu yang selalu setia dan tak suka marah *murah senyum, rajin belajar, dan gemar menabung pula, hayahhhh. Mereka buka restoran genap setahun dan baru saja merayakan ultah ke-1 De Sate tepat beberapa minggu sebelum kedatangan saya.

Sebulan setelah kerja di De Sate, saya dapat job baru sebagai loper koran. Tugas saya keliling kompleks perumahan menyebarkan junk mail. Dua kali seminggu. Tergantung jumlah katalog, saya terima 15-40 dolar sekali delivery (1-2 jam). Selang beberapa hari lagi, saya dapat kerja sebagai klining serpis di restoran cepat saji, Yiros House. Dua jam perhari setiap hari tanpa libur tanpa cuti, 35 dolar.


Saya masih tinggal di De Sate dan masih bekerja disini. Setiap hari setiap pagi sebelum pukul 7 saya sudah harus mengayuh sepeda 15-20 menit ke Yiros. Sepeda seken ini saya dapat dari situs jual beli online. Pukul 1 siang ganti tugas jadi loper, jam 4 sore giliran waitres, cleaning, dan kasir di De Sate sampai pukul 11 malam. Di De Sate saya tidak sendiri, ada beberapa kawan mahasiswa dari UniSa (University of South Australia) Flinders, dan Uni Adelaide yang ikut membantu. Mereka membawa cerita masing-masing yang mereka dibagikan selama di De Sate. Mas Kevin, Mas Fazli, mbak Ina, mbak Agi, mbak Sinta, dll. Berasa bener-bener di Indoooo!

NEXT: WHV 8

Tuesday, October 1, 2013

WHV 6 (I've got that)

Previous post here
Photos source here

Seorang teman yang juga mahasiswa di Flinders University, Aji namanya, iya sangat pendek, nama panjangnya aji aji jaran goyang *ora penting!. Dia mengijinkan saya untuk tinggal sementara di rumah kosnya. Oh, not bad, bisa irit 50 dolar per hari, 500 ribu rupiah, limang atus ewu repes, rek! Jumlah yang tidak sedikit di negaraku. Setara dengan biaya menginap paling murah di dorm hostel ala backpacker 20 dolar per malam, dan makan rata-rata 10 dolar per porsi belum termasuk es cendol dan tape ketan.

Karena masih termasuk kawasan Adelaide Hills, udara di Blackwood sejuk. 40 menit dari pusat kota, membuat Blackwood cocok untuk ditinggali pasca pensiun. Sangat peacefull dan kalem. Manusianya berjalan dengan tenang dan nyantai. Disinilah saya tinggal sementara sambil cari kerja. Saya tinggal sekamar dengan Aji, kawan dari Clementi, Singapura. Selepas lulus dari Singapura, ia melanjutkan studi di Filnders Uni jurusan Marine Biology. Empat bulan yang lalu kami traveling bersama keliling Banyuwangi. Red Island, Gunung Ijen, Baluran, dan Sukamade. Wah, tak disangka, kali ini kami bertemu dan melanjutkan misi traveling bersama *senyum

cooking session (Aji & teman kos, Erwin)
still cooking session


Tiga hari saya tinggal di Blackwood saya habiskan dengan keliling kampus Flinders sambil online di perpust, semua situs kerja saya jelajahi, semua nomor telpon saya hubungi. Yaa, lumayan lah, nyantol siji loro, telu, haha. Akhirnya saya putuskan De Sate, Indonesian Food.

Aji @ Flinders Uni
Wah ternyata begini ya rasanya kerja. Sumpeh woe, seumur umur saya gk pernah nglamar kerja. Paling pol jadi guru les privat di Surabaya. Saya benar-benar merasakan kerasnya usaha seorang fresh graduate di Indonesia. Setelah diterima melalui interview singkat, esoknya saya langsung praktik kerja. Nyapu, ngepel, cuci piring, menyajikan makanan, ngurus kasir semua saya lakoni. Berat? Awalnya iya. Dimanapun bekerja pasti awalnya berat. Tapi lama kelamaan pasti jadi ringan. Ibarat kita mendorong mobil, awalnya sulit karena butuh power besar, setelah mobil bergerak dan berjalan konstan mendorong jadi sangat mudah. Itulah yang terjadi pada saya. Dan tak sedikit pengalaman yang saya dapat. Disini saya belajar bagaimana menjadi waitress yang baik dan benar, menjamu tamu dengan sopan, handle complain, menjawab pertanyaan, dan lain sebagainya. Hospitality punya lah pokoke.

Tuesday, September 10, 2013

WHV 5 (A job hunt!)

Previous post here

-10 September 2013-

Jadi begini rasanya tinggal di kota yang paling layak huni di bumi. Kalau saya boleh memilih desa mana yang paling layak huni di planet ini, tak ada tempat terindah selain desaku, ahaha...

Tiga hari sudah saya menginap di rumah Anna. Jamuan makan malam jawa timuran, bakso, sayur asem dan es kacang ijo membuat saya kangen rumah, hics :( *alah lebay, kayak udah yang sepuluh taun gk pulang aja!

Malam ini saya diantar oleh Raj ke bustop. Dari bustop tak jauh dari woolwich drive saya ambil bis nomor 902 -> Glen Waverley. Dari Stasiun Glen Waverley -> stasiun Southern Cross di Melbourne. Di Melbourne saya harus ganti skybus ke bandara. Esok paginya saya terbang ke Adelaide untuk cari kerja. Iya, kerja. Kerjo alias megawe, golek nakfah cok!! *hus, nafkah! Banter, kliru.

Yep yep! I am on a work and holiday visa. Visa ampuh yang memiliki masa aktif setahun ini mengijinkan saya bekerja, berlibur, dan kuliah singkat di Australia. Enak to? Lalu kenapa saya memilih Adelaide? Kota kecil yang katanya memiliki jumlah populasi burung hantu lebih banyak daripada manusia. Haha, nggak segitunya kaleee. Denger denger di Adelaide masih banyak tempat yang virgin dan bagus untuk dipandang dan dijelajah. Berhubung saya suka sama yang masih virgin, pilihan untuk terbang ke Adelaide saya rasa  adalah pilihan yang lebih dari tepat!

Seperti perjalanan saya sebelumnya, saya tak pernah memiliki detail susunan “jadwal piket”. Hanya coretan kecil di buku panduan sederhana berisi catatan nomor telpon penting yang gak penting. Ya paling tidak kalau kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti hape mati, saya masih bisa pinjem hape orang di pinggir jalan *eh, siape loe??!. Yah, saya hanya bermodal kepercacyaan, percaya bahwa orang Australia itu baik, dan meminjamkan hape adalah kebaikan kecil yang bernilai besar bagi yang membutuhkan. Ini sepele tapi fakta loh. Saya sering duduk-duduk di pinggir jalan tiba-tiba ada orang minta-minta tolong, karena kepepet dia pinjem hape saya buat nelpon temennya. Saya baik hati sekali bukan? Siapa tahu yang pinjem hape itu adalaha malaikat yang menyamar untuk menguji kebaikan kita *efek dongeng masa lalu*, atau mereka dari stasiun tivi yang lagi bikin acara "diam-diam kaya", setelah saya pinjemin hape saya dikasih tahu ada kamera tersembunyi di balik pohon dan saya digampar duwit 10 juta…whawwwww! *efek layak kaca


Saya selalu menanti kejutan kejutan baru setiap hari. Setiap hentakan kaki ini selalu saja memunculkan kisah untuk ditulis. Di ruang tunggu, masuk gerbang stasiun, saat duduk di pesawat, lewat pintu kereta, cuci muka di toilet, turun dari bis, kepleset di eskalator, dan proses “menyenangkan” di ruang interogasi imigrasi. Pilihan terbang ke Adelaide muncul begitu saja. Apa pekerjaan yang akan saya lakukan, I duno yet

NEXT: WHV 6

Sunday, September 8, 2013

WHV 4 (Melbourne family)

Previous post here 

-8 September 2013-

Bangun pagi terasa lebih segar setelah saya basuh dengan air wudhu dan melanjutkan sholat subuh di mushola bandara Tullamarine. Saya menjadi makmum dari salah seorang pekerja bandara. Dengan logat turgish(turkish-english)nya, Husein meminta maaf pada saya karena tidak mengijinkan saya sholat sunnah melihat fajar hampir muncul. Selepas salam dia langsung menuju foodcourt di lantai 2. Kami berpisah tanpa sempat berbasa basi.
Kedatangan saya ke Australia tepat di penghujung akhir musim dingin, 7 September 2013. Saya mendarat di Melbourne pukul 23.00. Tidur di bandara adalah kebiasaan lama saya yang masih berlaku hingga kini, terlebih jika landing tengah malam.
“””
Setahun lebih kami tak berjumpa. Pagi ini saya penasaran seperti apa kini wajah sahabat saya yang satu ini. Dulu di kampus kami orientasi bersama, membuat yel yel dan berjalan tengah malam di Cuban Talun, Jawa Timur. Berharap ingin wisuda bersama tahun lalu, dia sudah lebih dulu dipinang dan tinggal bersama suaminya. Foto wisuda ini seharusnya genap.




Whatsapp
Adi      : Alamatmu opo mbot? Tetep podo mbek wingi yo? Mulgrave? Numpak taksi pirang ewu?
Anna   : Ningdi kowe saiki?! Naik taxi around $80
Adi      : Cok! Larange. Numpak skybus iso gk? Mudun southern cross station
Anna   : Listen! Better u take the skybus to city. N then out to city. From city go by train jurusan glen Waverley. Lu skrg dmn sich?! Emg udh nyampe melben? Klo hr ini lu nyampe gw bs jemput di city. Tp klo bsok gk bisa soalnya raj krja.
Adi      : Hey, gw baru nyampe melb. Nanti pgi aja dh naik skybus. Ok, so gw turun waverly, then take taxi to your place yo? Baru dpt wifi nanti skalian beli simcard. Balas dif b message aja. Hbis ini wifi off.
Anna   : Cokkk we ning ndi
Adi      : Tas tangi mbot, mariki tuku simcard
Anna   : Dmn lo
Adi      : Airport
Anna   : Omg
Adi      : Gmo
Anna   : Lu cari simcard dulu gih tar gw tlp. Soalnya mobil gw sedan gag ckup baggagenya ada stroller Nadine. Lu klo makan di airport beli sandwich aja di subway long beef meatball cm $7.
Adi      : Larange mbot!
Anna   : Cepet ndang tuku, disini jam 5 everything close!
Adi      : Righty O, you’re ready to go. Your number is 0411837736

Hari ini saya akan disambut oleh Anna, Raj suaminya, dan Nadine, anaknya yang genap setahun. Mereka tinggal di Melbourne sejak menikah dua tahun lalu. Kami bertemu di depan Southern Cross. Ah, apa yang berubah? Anna tampak lebih seger, Raj, baru kedua kali ini kami bertemu setelah pernikahan mereka, saya agak lupa lupa tak ingat. Dan Nadine, anaknya, mirip Aishwarya Rai :)





ibtimes.com

NEXT: WHV 5

Saturday, September 7, 2013

Bingkai Momen Jebeng Thulik

Jika India mempunyai sungai yang disakralkan dan Meksiko memiliki Calakmul dari Bangsa Maya, ternyata, selain memiliki hutan tertua di Jawa, Banyuwangi memiliki Buyut Cili sebagai salah satu tempat sakral. Terletak di desa Kemiren, kecamatan Glagah, makam Buyut Cili tidak hanya menjadi rujukan masyarakat using sebelum menunaikan hajatan, tetapi juga para pendatang dan pelancong. Beruntung, saya ikut menikmati momen “nyekar” di makam Buyut Cili ini pada saat karantina finalis Jebeng Thulik, sebuah momen yang tidak saya peroleh di tempat lain.

Jebeng Thulik bagi saya bukanlah ajang untuk menjadi nomor satu, melainkan sebuah wadah membangun karakter dan memupuk kearifan lokal. Itu semua tampak pada saat karantina finalis Jebeng Thulik yang saya ikuti. Karantina ini ibarat sekolah non formal yang didalamnya berisi murid-murid terpilih. Kelas yang mengalir santai namun tetap fokus pada pembekalan dan materi tanpa ada kesan kontes didalamnya apalagi kontes kecantikan dan ketampanan untuk menjadi pemenang, karena setiap orang memiliki kelebihan masing-masing yang dianugerahkan Tuhan. Dengan bertukar pikiran, mengasah mental, dan menjalin persaudaraan antar peserta, proses karantina Jebeng Thulik berjalan dengan casual, ringan, dan penuh cerita serta jauh dari kesan “lomba”. Pada awal karantina, kami dibimbing oleh panitia dan senior untuk mengenal Banyuwangi lebih dekat melalui interaksi dengan warga lokal, menyambangi spot spot budaya dan heritage yang tidak saya ketahui sebelumya seperti mengunjungi makam Buyut Cili dan berdiskusi dengan kelompok seni. Bahkan secara langsung berdiskusi dengan Gandrung Temuk, Gandrung yang sudah kondang dengan suara emas dan gemulai tarinya.

Pada hari berikutnya kami bermain beragam game seru yang unik, permainan kelompok yang menguji kekompakan serta kemandirian peserta sehingga peserta lebih empati dan mengenal sosok satu sama lain dengan lebih dekat. Kami berbaur dengan induk semang selaku suku using asli, selama masa karantina, sejak bangun sampai menjelang tidur. Semua aktivitas mereka kami ikuti, pergi ke sawah, bermain di sungai, memasak di dapur, apapun, semuanya. Ya, merekalah orang tua kami selama masa karantina. Bahkan kami juga berkunjung dan gotong royong membantu pelaksanaan pesta perkawinan adat suku using yang sedang berlangsung saat itu. Unik, meriah, lucu :D

Masa pertengahan karantina, kami dibekali kemampuan public speaking, bahasa inggris, tari Banyuwangi, sistem pemerintahan dan kebijakan publik di Banyuwangi, serta pemahaman tentang batik Banyuwangi. Rupanya selama ini pemaknaan saya terhadap batik keliru. Saya pikir semua batik di Indonesia sama. Namun begitu melihat cantiknya motif batik dengan beragam corak khas batik using, saya paham betapa Banyuwangi kaya akan seni, bukan hanya tari dan lagu, tetapi juga seni lukis batik. Lebih kaget lagi ketika saya dihadiahi oleh panitia sebuah novel berbahasa using, Pereng Puthuk Giri. Ini menunjukkan betapa karya sastra tulis telah menghias masyarakat using dari dulu hingga kini. Sejauh yang saya tahu, hanya sastra lisan, basanan dan wangsalan lah yang kerap kali saya dengar di beberapa syair lagu Banyuwangi, namun ternyata sastra tulis turut mengilhami kehidupan mereka serta mempu menyatukan kekunoan dan kekinian masyarakat using ini. Pantas saja mayoritas seniman Banyuwangi multitalenta karena rupanya kota Gandrung ini, tempat kelahiran saya, adalah gudang seni dan lahan bakat yang mampu menumbuhkan bakat seni apapun dengan subur. Dan Jebeng Thulik inilah, salah satu pupuk lokal yang manjur!

Menjelang akhir karantina, Bupati, Kapolres beserta jajaran menghadiri acara malam karantina kami di Kemiren. Kami berdiskusi dengan gayeng hingga larut malam. Diskusi yang mengetengahkan persoalan budaya dan pemuda ini semakin mempertajam pisau analisis kami tentang budaya dan kearifan lokal. Ditambah lagi dengan semua kelebihan yang dimiliki Banyuwangi seperti terukir dalam syair Umbul-Umbul Blambangan: “Banyuwangi, kulon gunung wetan segoro, lor lan kidul alas angker keliwat liwat”, Banyuwangi menjelma sebagai penyangga budaya di timur Jawa, dan sangat potensial menjadi kabupaten produktif yang menghasilkan produk unggulan berkualitas termasuk industri pariwisata melalui tangan-tangan kreatif pemuda, siapa lagi kalau bukan kita.

Semua yang saya peroleh selama masa karantina adalah bekal, pengalaman, dan pelajaran berharga yang tidak saya dapatkan di bangku sekolah dan selama kuliah. Disini saya lebih mengenal dan mencintai Banyuwangi. Dan disini pula saya menemukan kawan-kawan yang luar biasa. Jauh di angan, tertanam keinginan saya mengajak seluruh pemuda Banyuwangi ikut serta menjadi bagian dari event tahunan yang luar biasa ini. Tak ada janji apa yang akan didapat, namun ada sebuah harapan besar disana, di pundak kitalah nantinya masa depan tertumpu. Paling tidak kelak anda bisa meneruskan tulisan saya menjadi coretan pengalaman yang lebih seru, dramatis, dan tak akan pernah anda lupakan. Yakinlah, seperti halnya kita yang ingin memulai menulis hari ini, bahwa tak peduli apakah kelak tulisan kita berguna, tulislah, apapun hasilnya.

Ndeleng barong Kemiren liwat Bakungan
Kadung mulih mampiro Rogojampi
Isun bengen seng paham
Kadung Buyut Cili ono ring Banyuwangi

Olehsari seblange perawan
Ulo gatotkoco ring omproke Gandrung
Kang Adi seng biso wangsalan
Semene kanggo riko, isun cukupi sulung

Melbourne, 7 September 2013

Friday, August 30, 2013

WHV 3 (Pengantar)

Previous post here

Saya mengenal WHV dari seorang kawan bernama mas Rio. Kami sharing tentang berlibur di luar negeri sambil bekerja. Wah, tentu asyik! Itu yang ada dalam pikiran saya. Kalau bisa jalan-jalan ke luar negeri sambil bekerja secara resmi pastilah sangat amat menyenangkan sekali banget. Akhirnya saya googling dan yahooing lebih jauh tentang WHV di internet. Saya telpon langsung kantor imigrasi jakarta seputar persyaratan mendapatkan WHV. Kuota WHV dari Indonesia untuk Australia tahun itu sejumlah 100 orang per tahun *alamak! Jauh bingit kalo dibanding jumlah penduduk Indonesia yang dua ratus juta sekian sekian itu. Jumlah pemudanya aja jutaan. No worries lah pokoke, akhirnya  saya nekat. Semua amunisi saya siapkan, persenjataan komplit, dokumen lengkap. Saya daftar langsung capcus ke Jakarta. Ternyata omaygat! Antrian di depan kantor imigrasi sudah mengekor seanak kambing. Pintu dibuka pukul 08.00 tet tapi yang antri dari subuh udah bejibuan, bahkan ada yang nginep *busyet! Nekad lu ndrooo! Yoweslah saya pulang sambil meratapi nasib.

Saya tak berhenti sampai disitu. Saya teruskan belajar dan lebih rajin kuliah hingga akhirnya saya lulus skripsi dan diwisuda menjelang akhir 2012 *terharu LoL. Sambil menghabiskan masa setahun saya luangkan waktu untuk menjelajah benua Asia dan Timur Tengah separo demi separo. Hampir 20 negara saya arungi sejak saya kuliah. Saya tak punya target nilai skripsi A atau AB atau lulus kumlot karena itu sudah mainstream. Target saya lulus kuliah adalah 24 halaman paspor penuh stempel! Syukur Alhamdulillah, target terlampaui.


Angin segar berhembus setahun kemudian. Kuota WHV untuk Indonesia bertambah jadi 1000. Iiiiiiyesss! Kali ini amunisi saya jauh lebih matang, senjata sudah lebih mumpuni karena saya sudah pegang ijazah. Singkat cerita, Juni saya submit aplikasi lewat internet, seminggu kemudian wawancara, akhir Juni submit dokumen dan surat keterangan lolos wawancara di AVAC Denpasar, Juli Medical Check Up di Surabaya, 13 Agustus visa granted *sujud syukur.

NEXT: WHV 4

Monday, August 5, 2013

WHV 2 (Australia selayang pandang)

Previous post here

Jika kalian harus menebak apa yang saya pikirkan ketika mendengar “Australia”, maka jawaban kalian benar. Iya, ho oh. Pertama yang ada di pikiran saya adalah kanguru, aborigin, dan ketiga, opera. Tapi tahukah kalian darimana pertama kali saya mengenal negara benua ini?

Dulu saya ngefans dengan salah satu group band paling terkenal di Indonesia. Seluruh albumnya kondang dari Aceh sampai Banyuwangi, dari Jakarta hingga Papua. Lagunya mengilhami banyak orang karena liriknya penuh semangat. Group band inilah yang pertama kali mengenalkan saya tentang “negeri wool”. Bukan hanya itu, dia juga mengenalkan saya pada Cina, Jepang, Amerika dan beberapa negara lain di dunia ini. Sampai saya menulis posting ini, sudah tiga kali saya berkunjung ke Jepang. Negara terakhir yang saya singgahi sebelum Australia adalah Cina, Hongkong, dan Macau.


Kata seorang teman yang mengutip sebuah ayat-ayat backpacker: “di kejauhan dan kesendirian, hati akan lebih merasakan dekapan Tuhan”, memberikan saya satu pandangan tentang hijrah, perjalanan untuk mengenal diri, manusia dan alam, menjauhkan diri dari rasa angkuh, dan mendekatkan diri kepada tuhan. Terilhami oleh group band favorit saya kala itu, Trio Kwek Kwek, dan ayat-ayat backpacker, rasa penasaran saya oleh kanguru dan orang orang aborigin kini terobati sudah.

NEXT: WHV 3


Saturday, July 13, 2013

WHV 1 (Berjuang di ibukota)

Previous post here

Kalau kita traveling ke luar negeri? Gimana ceritanya? Uhhh pasti senang sekali. Kalau sambil bekerja disana dan menari nari? Uhhhhhhhhhhhhh! amat sangat senang sekaliiiiii. Senangnya melebihi terbang dan menari bersama bintang kecil di langit yang tinggi amat banyak menghias angkasa. Itu benar sekali. Sangat menarik kalau kita traveling ke luar negeri sambil jalan-jalan. Emang traveling apanya jalan-jalan kakak??? Oh iya, haha. Maksudnya traveling sambil bekerja, dan bekerja sambil jalan-jalan, begitu.

Singkat cerita saya langsung telepon kantor imigrasi pusat di Jakarta perihal WHV ini karena setelah saya cari info di internet kurang cukup tersedia. Lanjut kabar, saya dikabari untuk tes wawancara dan verifikasi dokumen hari senin. Cihuy!

Setelah munyer-munyer saya sampai jakarta minggu malam dan istirahat di rumah kawan. Senin subuh saya meluncur tiba di TKP pukul lapan. Omaygatomaygatomaygatttt!!! Rupa rupanya saya ada di antrian urutan seratus enam puluh sekian sekian. Kata petugas hanya akan diambil 100 pendaftar sahaja. Itu jatah pertahun. Whuat!!! 100 per year??? Ah, tidak mungkin! No problem! *No way kaleee maksudnya??? Iya, nyali saya ciut kala itu juga. Lebih lagi kata petugas sudah ada yang antri sejak sebelum subuh, padahal kantor buka pukul lapan tet! Bahkan ada yang sejak tengah malam tadi rela menginap ngesot ngesot gelar tikar depan kantor. Sumprit! Bucyet!!! Belum sempat mengucapkan selamat pagi jakarta asaku telah lebih dulu putus tenggelam ditelan cakrawala biru di atas langit ibukota Indonesia. Kisahku berakhir, aku pulang membawa kehampaan, tersedu menatap asap kopaja. Di kemacetan Rasuna Said ini, ku dilanda sepi.

Setahun berlalu, Juni 2013

Semilir angin dan cerah mentari melempar salam menyibakkan selimutku. Ayam yang biasanya berkokok pagi ini menjerit lebih casual kencang bersahutan. Pertanda sebuah kebaikan akan datang. Iseng jalan-jalan ke Surabaya membawa saya pada memori pedih tahun lalu, tahun kelabu. Namun sepertinya hari ini alur akan berjalan sedikit berbda, kebaikan akan menang. Surabaya setelah 100 tahun terakhir dilanda panas kemarau mendadak berhawa sejuk. Ya, kebaikan akan datang. Berita baik saya terima dari kawan di kampus tentang kuota WHV yang tadinya 100 menjadi 1000. Sebuah berita yang patut diacungi jempol oleh semua kalangan.


Beberapa kebijakan pemerintah diperbarui, sistem diupgrade, hubungan bilateral diperharmonis.  Alhasil kunjungan presiden SBY berbuah manis. Dari 100 menjadi 1000 bukanlah hal biasa. Prosedur WHV pun kini telah lebih mangstab dan transfaran. Ia mengharuskan saya untuk daftar melalui online disinihttp://www.imigrasi.go.id/index.php/layanan-publik/rekomendasi-visa-bekerja-dan-berlibur#umum. Setelah baca-membaca persyaratan dan meng-submit dokumen penunjang, seminggu kemudian saya dapat jatah wawancara tanggal 17 Juni 2013, iiiiiyes!!

NEXT: WHV 2

Sunday, June 30, 2013

WHV (What the Hey?)


Pada dasarnya semua orang butuh bekerja, apapun bentuknya. Tak ada yang tidak. Semakmur apapun, bekerja selalu jadi bagian hidup, termasuk yang cacat sekalipun. Tapi kalau hidup ini hanya diisi dengan kerja kerja dan kerja, duwit duwit dan duwit pasti hidup akan macet. Masak sejak lahir ceprot manusia sudah dibebani dengan kerja, kasihan sekali, bukan??? Sebagai jeda, manusia butuh kesegaran alias refreshing untuk kembalikan mood, menyegarkan jiwa dan pikiran sehingga ion ion di dalam tubuh akan seimbang *ah,mosok???. Salah satu cara yang paling banyak dilakukan untuk menyegarkan adalah traveling. Iya, benar.traveling jawabnya.

Siapa sih yang gak doyan liburan, jalan-jalan, traveling? Angkat tangan! Siapa yang nggak suka diajak jalan jalan ke pantai? hayoooo, kalau melihat indahnya alam yang rupawan, rangkaian gunung-gunung, menyelami kemolekan bawah laut, atau menyusuri saksi sejarah peradaban? Pasti semua suka sedapnya. Apalagi bukan jalan-jalan biasa melainkan luar negeri luar biasa. Ditambah lagi teravelingnya sambil bekerja bagaimana? Atau bekerja sambil berlibur? Du sedapnya. Boleh? Boleh. Bisa? Bisa dong. Emang bisa? Kalau tidak ngapain saya capek panjang lebar menulis blog ini. So, this is the point! WHV. Jangan salah baca. Bukan HIV, WHO, apalagi H2O.

WHV menjadi salah satu jembatan saya untuk bekerja, sekaligus berlibur di luar negeri. Kok bisa? Ya. Namanya juga WHV. Singakatan Work and Holiday Visa. W itu singkatannya Work artinya bekerja, H singkatannya Holiday artinya hari holi hari bersenang senang alias cangkrukan. Jadi bisa kerja sambil cangkrukan di luar negeri. Loh? Apa ndak dimarai sama majikan, tho ? Wes, mdasku mumet, pikiren dewe.

Work and Holiday Visa. Visa jenis ini bisa kita pakai untuk bekerja dan berlibur di sebuah negara. Setahu saya saat ini negara yang mengeluarkan visa jenis ini untuk Indonesia adalah tetangga kita, Timor Leste, ups, haha bukan! Irlandia, kejauhan kaleeee! Australia, yuuuuuus. Baiklah. Saya akan cerita sedikit demi sedikit disini. Simak baik baik ya, langsung saja... Eng ing eeeeeng!

Once upon a time in Banyuwangi

Pertengahan 2012 adalah masa yang sakral bagi saya. Di periode ini saya kenal seorang kawan Palembang dari sosmed. Setelah kami bertemu dan berkenalan di sebuah terminal bis di kota gandrung ini (sebutlah terminal Jajag namanya) kami sharing tentang dunia kami, dunia khayalllll. Kami sharing tentang traveling, jalan-jalan, kata orang malay makan angin. Asal jangan makan kentut, jorok.


Semua orang selalu menganalogikan traveling dengan alam, tempat, transportasi, wisata, peta, budaya, kuliner, kawan, cerita, nyasar, kejutan, fotografi, situs, apalagi? Kesambar petir (Naudzubillahimindzalik! jangan ya). Banyak deh pokoknya!!! Memang menarik mendefinisikan bersama kata “traveling” ini, karena terdengar begitu menggelitik, imut, dan seksi. Jelas saja, begitu orang membayangkan “traveling” ilustrasinya akan sangat nyata dalam alam bawah sadar mereka sebuah konotasi positip akan ketentraman, rasa senang dan bahagia. Orang disekitar anda akan gembira mendengar anda berucap “traveling”. Coba ucapkan ke teman anda, “aku mau traveling ke kutub utara nich!” mereka akan langsung shock. Atau “mau ikut traveling kerumah aku nggak?” pasti mereka bingung. Haha... Jadi jika ingin bahagia jangan hanya berucap, tapi lakukanlah traveling sesering mungkin.

Next: WHV 1 (Berjuang di Ibukota) 

Thursday, May 16, 2013

SEASON 5 Chapter 8 (The 2nd Khaosan)

Previous post here

Kereta ekonomi ini mirip Sritanjung Banyuwangi-Surabaya jaman dulu. Tak ber AC. Cara pemeriksaan tiket pun sama, dilubangi dengan stapler. Hanya formasi saja yang beda. Sritanjung berbaris kanan tiga kiri dua, kereta ini berbaris kanan kiri dua. Penghuni gerbong yang saya naiki mayoritas warga Kamboja dan Thailand. Mereka pikir saya berdarah sama dengan mereka, saya diajak ngerumpi. Ah tidak tahunya saya adalah darah biru keturunan wong mbanyuwangi yang tidak bisa meniru bahasa mereka.

Selang sejam berlalu dari Aranyaprathet, petugas KA dibantu polisi setempat melakukan razia dalam kereta. Semua bagasi penumpang diperiksa. Kali aja ada yang bawa bom atau pakaian dalam curian, haha. Denger-denger sih rute Kamboja-Thailand dan perbatasan negara di sekitarnya merupakan jalur emas para smuggler dalam melancarkan aksinya. Tas saya hanya dipegang-pegang lalu petugas melirik paspor hijau yang saya tunjukkan kemudian berlalu ke gerbong 3. Dua orang pemuda di depan saya melontarkan pertanyaan dengan bahasa ah uh ah uh yang saya jawab pakai bahasa Indonesia. Males aja jawab pakai bahasa Jawa karena pasti juga mereka ndak mudeng. Akhirnya empat jam sisa perjalanan ini saya manfaatkan untuk merajut mimpi sampai pulas.


Senja di Bangkok menampakkan pesonanya. Menjelang magrib kereta memasuki wilayah Bangkok membangunkan geliat malam sang Gajah Putih. Jajaran cahaya Pagoda menyulut disetiap pucuknya menghias denyut malam ibukota. Segera saya bergegas kemasi barang dan pamitan dengan rekan duduk sebelah. Stasiun Hualamphong adalah stasiun kereta terbesar di Bangkok. Usai turun saya langsung menuju Khaosan untuk menginap malam ini.


Dua ribu sembilan adalah kunjungan pertama saya ke luar negeri. Bangkok adalah jujugan pertama saya, dan Khaosan adalah tempat wisata luar negeri pertama yang saya singgahi. Menjejakkan kaki di Khaosan serasa mengenang kembali kembara wisata gajah putih tiga tahun silam. Bersama kawan-kawan seperjuangan dari Eropa menyusur setiap sudut wilayah Bangkok. Saya kembali terkesan. 

NEXT: SEASON 5 Chapter 9

Sunday, May 5, 2013

SEASON 5 Chapter 7 (Accros Khmer-Thai Border)

Previous post here

Dua hari sebelum berangkat ke Bangkok saya diantar Lenly dan Veasna pesan karcis (ejaan baru: tiket) untuk ke poipet, perbatasan Kamboja-Thailand. Hari H pagi pukul pukul 08.00 van yang saya pesan tiba di hotel jemput saya untuk berangkat ke Poipet. 2,5 jam perjalanan Siem Reap-Poipet saya habiskan dengan tidur karena semalam terlalu banyak habiskan kopi.

Terminal Bungurasih sepertinya lebih bersih ketimbang imigrasi Poipet. Selepas meningggalkan Poipet dan memasuki Thailand saya bingung karena rencana saya adalah naik kereta ke Bangkok sedangkan kereta berangkat setengah jam lagi. Setelah tanya pak polisi di pinggir jalan akhirnya saya disarankan naik tuktuk saja 30 baht. Saya bersama dengan seorang ibu muda dan anaknya naik tuktuk menuju stasiun Arenyapathet. Dari dulu entah sampai kapan orang Thailand terbata-bata bercakap bahasa inggris. Satu tuktuk tak ada yang bisa bahasa inggris, termasuk pak kusir. Saya berasa jadi bule pintar.

Imigrasi Poipet

Antri paspor = antri BLT

Stasiun Arenyaphathet

Inside the train

Cek tiket

Sunday, April 7, 2013

SEASON 5 Chapter 6 (Philantropical Trip in Siem Reap)

Previous post here


Trip kali ini adalah kesekian kalinya saya melakukan baksos setelah Bangkok (Thailand) dan Kumamoto (Jepang). Tanpa sengaja, saya bertemu dengan seorang host yang juga tenaga pengajar pada sekolah sosial pengajaran bahasa inggris yang dimotori oleh organisasi Korea. Saya diajak oleh Veasna. Dia menjemput saya di bus stop Siem Reap.
Tepat pukul 1 siang saya tiba di Siemreap. Setelah saya berkenalan dengan Veasna, dia membonceng saya dengan sepeda motornya ke rumah kos yang dia sewa bersama rekan kerjanya. Selain saya, ternyata disana sudah ada seorang tamu perempuan yang juga doyan ngetrip. Dia baru tiba di Siem Reap kemarin. Lenly namanya, Filipina asal negaranya. Seperti saya, rupanya dia juga seorang relawan dengan jiwa sosial tinggi. Veasna mengajak kami untuk mengunjungi sekolahnya keesokan harinya.

Dari segi fasilitas, SD di kampung saya jauh lebih baik daripada sekolah ini. Terletak jauh dari jalan dan berseberangan dengan sawah, sekolah biasa di luar ini berdinding triplek dan bambu, berlantai tanah, dan halaman luar jadi satu dengan lahan ternak sapi merumput. Ini Indonesia Mengajar versi Siem Reap. Usia murid di sekolah ini 14-18 tahun. Saya seperti melihat Bintang di Laskar Pelangi, hiks.... haru

Setiap sore saya dibonceng Veasna ke sekolah ini untuk mengajar mereka bahasa inggris. Ada 2 kelas yang masing masing berisi 20 murid. Semangat belajar mereka luar biasa. Itu tampak dari interaksi mereka dengan saya. Tanya jawab dan public speaking yang paling mereka gemari. Mereka selalu bertanya tentang Indonesia. Dimana dan seperti apa Indonesia. Saya jelaskan mereka sebenarnya jarak mereka dengan kota terbesar kedua di Indonesia (Medan) lebih dekat daripada jarak tempat tinggal saya ke Medan. Mereka semakin penasaran. Akhirnya saya lukiskan peta Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Kamboja di papan itu. Mereka takjub karena luas ketiga negara itu kurang dari separo luas Indonesia. Waaaaaaah


Hari ketiga di Siem Reap, saya diajak ke sebuah sekolah negeri untuk mengajarkan bahasa inggris. Malam harinya kami mengunjungi night market dan pusat kota Siem Reap serta mencicipi Khmer Noodle di lesehan pinggir jalan di seberang sungai. Rasanya seperti berada di Siem Reap.

NEXT: SEASON 5 Chapter 7