Saturday, September 7, 2013

Bingkai Momen Jebeng Thulik

Jika India mempunyai sungai yang disakralkan dan Meksiko memiliki Calakmul dari Bangsa Maya, ternyata, selain memiliki hutan tertua di Jawa, Banyuwangi memiliki Buyut Cili sebagai salah satu tempat sakral. Terletak di desa Kemiren, kecamatan Glagah, makam Buyut Cili tidak hanya menjadi rujukan masyarakat using sebelum menunaikan hajatan, tetapi juga para pendatang dan pelancong. Beruntung, saya ikut menikmati momen “nyekar” di makam Buyut Cili ini pada saat karantina finalis Jebeng Thulik, sebuah momen yang tidak saya peroleh di tempat lain.

Jebeng Thulik bagi saya bukanlah ajang untuk menjadi nomor satu, melainkan sebuah wadah membangun karakter dan memupuk kearifan lokal. Itu semua tampak pada saat karantina finalis Jebeng Thulik yang saya ikuti. Karantina ini ibarat sekolah non formal yang didalamnya berisi murid-murid terpilih. Kelas yang mengalir santai namun tetap fokus pada pembekalan dan materi tanpa ada kesan kontes didalamnya apalagi kontes kecantikan dan ketampanan untuk menjadi pemenang, karena setiap orang memiliki kelebihan masing-masing yang dianugerahkan Tuhan. Dengan bertukar pikiran, mengasah mental, dan menjalin persaudaraan antar peserta, proses karantina Jebeng Thulik berjalan dengan casual, ringan, dan penuh cerita serta jauh dari kesan “lomba”. Pada awal karantina, kami dibimbing oleh panitia dan senior untuk mengenal Banyuwangi lebih dekat melalui interaksi dengan warga lokal, menyambangi spot spot budaya dan heritage yang tidak saya ketahui sebelumya seperti mengunjungi makam Buyut Cili dan berdiskusi dengan kelompok seni. Bahkan secara langsung berdiskusi dengan Gandrung Temuk, Gandrung yang sudah kondang dengan suara emas dan gemulai tarinya.

Pada hari berikutnya kami bermain beragam game seru yang unik, permainan kelompok yang menguji kekompakan serta kemandirian peserta sehingga peserta lebih empati dan mengenal sosok satu sama lain dengan lebih dekat. Kami berbaur dengan induk semang selaku suku using asli, selama masa karantina, sejak bangun sampai menjelang tidur. Semua aktivitas mereka kami ikuti, pergi ke sawah, bermain di sungai, memasak di dapur, apapun, semuanya. Ya, merekalah orang tua kami selama masa karantina. Bahkan kami juga berkunjung dan gotong royong membantu pelaksanaan pesta perkawinan adat suku using yang sedang berlangsung saat itu. Unik, meriah, lucu :D

Masa pertengahan karantina, kami dibekali kemampuan public speaking, bahasa inggris, tari Banyuwangi, sistem pemerintahan dan kebijakan publik di Banyuwangi, serta pemahaman tentang batik Banyuwangi. Rupanya selama ini pemaknaan saya terhadap batik keliru. Saya pikir semua batik di Indonesia sama. Namun begitu melihat cantiknya motif batik dengan beragam corak khas batik using, saya paham betapa Banyuwangi kaya akan seni, bukan hanya tari dan lagu, tetapi juga seni lukis batik. Lebih kaget lagi ketika saya dihadiahi oleh panitia sebuah novel berbahasa using, Pereng Puthuk Giri. Ini menunjukkan betapa karya sastra tulis telah menghias masyarakat using dari dulu hingga kini. Sejauh yang saya tahu, hanya sastra lisan, basanan dan wangsalan lah yang kerap kali saya dengar di beberapa syair lagu Banyuwangi, namun ternyata sastra tulis turut mengilhami kehidupan mereka serta mempu menyatukan kekunoan dan kekinian masyarakat using ini. Pantas saja mayoritas seniman Banyuwangi multitalenta karena rupanya kota Gandrung ini, tempat kelahiran saya, adalah gudang seni dan lahan bakat yang mampu menumbuhkan bakat seni apapun dengan subur. Dan Jebeng Thulik inilah, salah satu pupuk lokal yang manjur!

Menjelang akhir karantina, Bupati, Kapolres beserta jajaran menghadiri acara malam karantina kami di Kemiren. Kami berdiskusi dengan gayeng hingga larut malam. Diskusi yang mengetengahkan persoalan budaya dan pemuda ini semakin mempertajam pisau analisis kami tentang budaya dan kearifan lokal. Ditambah lagi dengan semua kelebihan yang dimiliki Banyuwangi seperti terukir dalam syair Umbul-Umbul Blambangan: “Banyuwangi, kulon gunung wetan segoro, lor lan kidul alas angker keliwat liwat”, Banyuwangi menjelma sebagai penyangga budaya di timur Jawa, dan sangat potensial menjadi kabupaten produktif yang menghasilkan produk unggulan berkualitas termasuk industri pariwisata melalui tangan-tangan kreatif pemuda, siapa lagi kalau bukan kita.

Semua yang saya peroleh selama masa karantina adalah bekal, pengalaman, dan pelajaran berharga yang tidak saya dapatkan di bangku sekolah dan selama kuliah. Disini saya lebih mengenal dan mencintai Banyuwangi. Dan disini pula saya menemukan kawan-kawan yang luar biasa. Jauh di angan, tertanam keinginan saya mengajak seluruh pemuda Banyuwangi ikut serta menjadi bagian dari event tahunan yang luar biasa ini. Tak ada janji apa yang akan didapat, namun ada sebuah harapan besar disana, di pundak kitalah nantinya masa depan tertumpu. Paling tidak kelak anda bisa meneruskan tulisan saya menjadi coretan pengalaman yang lebih seru, dramatis, dan tak akan pernah anda lupakan. Yakinlah, seperti halnya kita yang ingin memulai menulis hari ini, bahwa tak peduli apakah kelak tulisan kita berguna, tulislah, apapun hasilnya.

Ndeleng barong Kemiren liwat Bakungan
Kadung mulih mampiro Rogojampi
Isun bengen seng paham
Kadung Buyut Cili ono ring Banyuwangi

Olehsari seblange perawan
Ulo gatotkoco ring omproke Gandrung
Kang Adi seng biso wangsalan
Semene kanggo riko, isun cukupi sulung

Melbourne, 7 September 2013

No comments:

Post a Comment