Friday, January 20, 2012

Volunteer? what the h*** are you?!


Ah…. Ngapain sih susah-susah kerja otot tanpa gaji. Ngapain juga repot-repot perjuangkan sesuatu yang nggak ada timbal baliknya.”

Inilah tanggapan sebagian besar orang awam tentang relawan. Mereka memandang sebelah mata “profesi” seorang volunteer karena buang-buang waktu untuk urusan yang nggak ada hasilnya (secara materi). Awalnya saya demikian, acuh tak acuh. Sampai akhirnya, iseng-iseng, saya berjumpa dengan secarik brosur kumuh tertempel di mading kampus (biasalah mahasiswa baru sok baca-baca berita penting di papan pengumuman). Tertulis disana “Volunteeers Hunt!” saya penasaran.

Singkat cerita, saya bergabung dengan IIWC (Indonesia International Work Camp) setelah tertarik dengan open house-nya yang digelar di depan Gedung Serba Guna kampus B Unair. Berawal dari paparan mbak Puji, seorang koordinator IIWC waktu itu, saya coba membangun kedekatan dengan organisasi relawan yang berpusat di Semarang ini. Kesan pertama adalah biasa saja, organisasi luar kampus paling isinya itu-itu aja. Politik, aksi, baksos, galang dana, dkk. Tapi karena melihat beberapa tagging di peta dunia yang dipajang di open house ini, saya semakin jauh penasaran.

Hal pertama yang membuat saya kagum adalah NETWORK. Kaget saya begitu tahu betapa luasnya jaringan organisasi ini. Lebih kaget lagi ketika saya berjumpa dengan member yang semuanya adalah mahasiswa aktif!

Hari…

Minggu…

Bulan…

Tahun….

(awalnya tulisan ini hendak merivew IIWC, saya rasa tak usahlah karena sudah ada disini).

Hampir lima tahun kedekatan saya dengan IIWC terjalin. Masa yang singkat dengan pengalaman cukup padat. Betapa tidak, disela-sela tugas kuliah, minimal sekali setiap bulan saya naik bis surabaya-semarang untuk mengikuti training dan work camp. Belum lagi kalau saya harus berbelit dengan birokrasi saat jadi campleader di beberapa camp-nya IIWC. Berurusan dengan polisi, pemda, kecamatan, sampai RT RW saya lalui. Awalnya sulit, namun saya menjalaninya dengan hepi. Kini semua berbuah hasil! Tanpa sadar TOEFL saya hampir mencapai 550 (lhooo!!!) padahal dulu 400 saja sudah ngos-ngosan. Ini karena English jadi bahasa pengantar disetiap work camp mengingat peserta work camp yang digelar di Indonesia diikuti oleh banyak foreigners. Uniknya semua berjalan secara casual, mengalir, tanpa beban.

Sejak 1999, IIWC mengawali partnership pertamanya dengan Jepang mengusung tema proyek agriculture&construction. Jalinan semakin kuat. Selang waktu berjalan, banyak organisasi serupa dari belahan benua terangsang untuk bergabung sampai akhirnya organisasi ini berada dalam wadah NVDA (Network for Voluntary Development in Asia), dan tergabung dalam CCIVS (Coordinating Committee for International Voluntary Service) dibawah payung UNESCO.

Yang membuat saya bangga menjadi bagian dari wadah ini?

Jalinan silaturrahmi antar jurusan atau kampus se nasional, regional, atau benua itu sudah wajar. Konferensi mahasiswa tingkat internasional juga banyak. Namun misi kerelawanan dan sosial yang diusung oleh temen2 IIWC inilah yang membuat saya bangga menjadi bagian darinya. Semua member IIWC adalah mahasiswa. Mereka sering terlibat dalam kegiatan kerelawanan internasional baik sebagai partisipan maupun keynote speaker. Forum kecil di daerah, desa, kecamatan, sampai dengan forum UNESCO di benua antah berantah, mereka sikat!!!

Saya tahu betul di IIWC bagaimana seorang mahasiswa mengurus proyek di luar negeri, tanpa bantuan pemerintah, pun dosen, tak siapapun. Untuk mengaplikasikannya bukanlah hal mudah. Asia-Europe dialogue dengan mendatangkan partisipan dari Eropa dan Asia, digagas oleh mereka. Keikutsertaan dalam The Asia-Europe Young Volunteer Exchange setiap tahun bukanlah sekedar ritual, mereka membawa suara untuk (paling tidak) diaplikasikan di Indonesia.

Culture is a shared meaning among the contexts, ini menurut saya. Saya belajar konteks karena saya bersinggungan dengan ilmu komunikasi yang selalu sadar konteks. Saya belajar banyak tentang budaya. Esensi budaya yang terserap setiap kali bekerja dengan teman asing jadi satu pengalaman manis yang tak saya peroleh di kelas. Selebihnya, how to cope with conflicts saya pelajari perlahan. Kenapa European Monochronic dan Asian cenderung Polychronic. Saat hidup dengan mereka saya menyadari I’am not the only true and they are not wrong. Inilah esensi intercultural learning yang sering digaungkan oleh berbagai minat studi di kampus. Disinilah saya mempraktikannya. Mengetahui jalan pikiran orang Jepang cenderung lebih sulit ketimbang Perancis.

Teman-teman baru yang saling memberi dan menerima, dengan hobi yang kebetulan hampr sama, traveling, juga jadi wadah penyalur hasrat. Saya mulai menjelajah berbagai benua di planet ini separo demi separo. Berjumpa, berbaur, dan menikmati perjalanan. Semua saya lakoni dengan penuh percaya diri. Saya lebih kagum lagi ketika mereka yang telah kembali ke Indonesia tak lantas membusungkan dada, pamer. Tak heran, jebolan IIWC seringkali mengelilingi Eropa. Siapa mereka? Mahasiswa. Mereka juga menjadi pembicara di beberapa foum internasional. Siapa? Mahasiswa. Wakil Asian Youth Forum juga adalah teman akrab saya di UGM, mahasiswa juga. Tak heran The President of NVDA pernah dijabat oleh IIWC. Mereka bukanlah partisipan yang menerima undangan untuk hadir dan sekedar mendengarkan ceramah. Mereka memiliki semangat pionir untuk mengawal, mengajak, dan menciptakan.

Untuk mahasiswa, relawan, IIWC, dan dunia

Happy Anniversary IIWC
Individually We change Ourselves, Together We Change The World