Tuesday, September 10, 2013

WHV 5 (A job hunt!)

Previous post here

-10 September 2013-

Jadi begini rasanya tinggal di kota yang paling layak huni di bumi. Kalau saya boleh memilih desa mana yang paling layak huni di planet ini, tak ada tempat terindah selain desaku, ahaha...

Tiga hari sudah saya menginap di rumah Anna. Jamuan makan malam jawa timuran, bakso, sayur asem dan es kacang ijo membuat saya kangen rumah, hics :( *alah lebay, kayak udah yang sepuluh taun gk pulang aja!

Malam ini saya diantar oleh Raj ke bustop. Dari bustop tak jauh dari woolwich drive saya ambil bis nomor 902 -> Glen Waverley. Dari Stasiun Glen Waverley -> stasiun Southern Cross di Melbourne. Di Melbourne saya harus ganti skybus ke bandara. Esok paginya saya terbang ke Adelaide untuk cari kerja. Iya, kerja. Kerjo alias megawe, golek nakfah cok!! *hus, nafkah! Banter, kliru.

Yep yep! I am on a work and holiday visa. Visa ampuh yang memiliki masa aktif setahun ini mengijinkan saya bekerja, berlibur, dan kuliah singkat di Australia. Enak to? Lalu kenapa saya memilih Adelaide? Kota kecil yang katanya memiliki jumlah populasi burung hantu lebih banyak daripada manusia. Haha, nggak segitunya kaleee. Denger denger di Adelaide masih banyak tempat yang virgin dan bagus untuk dipandang dan dijelajah. Berhubung saya suka sama yang masih virgin, pilihan untuk terbang ke Adelaide saya rasa  adalah pilihan yang lebih dari tepat!

Seperti perjalanan saya sebelumnya, saya tak pernah memiliki detail susunan “jadwal piket”. Hanya coretan kecil di buku panduan sederhana berisi catatan nomor telpon penting yang gak penting. Ya paling tidak kalau kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti hape mati, saya masih bisa pinjem hape orang di pinggir jalan *eh, siape loe??!. Yah, saya hanya bermodal kepercacyaan, percaya bahwa orang Australia itu baik, dan meminjamkan hape adalah kebaikan kecil yang bernilai besar bagi yang membutuhkan. Ini sepele tapi fakta loh. Saya sering duduk-duduk di pinggir jalan tiba-tiba ada orang minta-minta tolong, karena kepepet dia pinjem hape saya buat nelpon temennya. Saya baik hati sekali bukan? Siapa tahu yang pinjem hape itu adalaha malaikat yang menyamar untuk menguji kebaikan kita *efek dongeng masa lalu*, atau mereka dari stasiun tivi yang lagi bikin acara "diam-diam kaya", setelah saya pinjemin hape saya dikasih tahu ada kamera tersembunyi di balik pohon dan saya digampar duwit 10 juta…whawwwww! *efek layak kaca


Saya selalu menanti kejutan kejutan baru setiap hari. Setiap hentakan kaki ini selalu saja memunculkan kisah untuk ditulis. Di ruang tunggu, masuk gerbang stasiun, saat duduk di pesawat, lewat pintu kereta, cuci muka di toilet, turun dari bis, kepleset di eskalator, dan proses “menyenangkan” di ruang interogasi imigrasi. Pilihan terbang ke Adelaide muncul begitu saja. Apa pekerjaan yang akan saya lakukan, I duno yet

NEXT: WHV 6

Sunday, September 8, 2013

WHV 4 (Melbourne family)

Previous post here 

-8 September 2013-

Bangun pagi terasa lebih segar setelah saya basuh dengan air wudhu dan melanjutkan sholat subuh di mushola bandara Tullamarine. Saya menjadi makmum dari salah seorang pekerja bandara. Dengan logat turgish(turkish-english)nya, Husein meminta maaf pada saya karena tidak mengijinkan saya sholat sunnah melihat fajar hampir muncul. Selepas salam dia langsung menuju foodcourt di lantai 2. Kami berpisah tanpa sempat berbasa basi.
Kedatangan saya ke Australia tepat di penghujung akhir musim dingin, 7 September 2013. Saya mendarat di Melbourne pukul 23.00. Tidur di bandara adalah kebiasaan lama saya yang masih berlaku hingga kini, terlebih jika landing tengah malam.
“””
Setahun lebih kami tak berjumpa. Pagi ini saya penasaran seperti apa kini wajah sahabat saya yang satu ini. Dulu di kampus kami orientasi bersama, membuat yel yel dan berjalan tengah malam di Cuban Talun, Jawa Timur. Berharap ingin wisuda bersama tahun lalu, dia sudah lebih dulu dipinang dan tinggal bersama suaminya. Foto wisuda ini seharusnya genap.




Whatsapp
Adi      : Alamatmu opo mbot? Tetep podo mbek wingi yo? Mulgrave? Numpak taksi pirang ewu?
Anna   : Ningdi kowe saiki?! Naik taxi around $80
Adi      : Cok! Larange. Numpak skybus iso gk? Mudun southern cross station
Anna   : Listen! Better u take the skybus to city. N then out to city. From city go by train jurusan glen Waverley. Lu skrg dmn sich?! Emg udh nyampe melben? Klo hr ini lu nyampe gw bs jemput di city. Tp klo bsok gk bisa soalnya raj krja.
Adi      : Hey, gw baru nyampe melb. Nanti pgi aja dh naik skybus. Ok, so gw turun waverly, then take taxi to your place yo? Baru dpt wifi nanti skalian beli simcard. Balas dif b message aja. Hbis ini wifi off.
Anna   : Cokkk we ning ndi
Adi      : Tas tangi mbot, mariki tuku simcard
Anna   : Dmn lo
Adi      : Airport
Anna   : Omg
Adi      : Gmo
Anna   : Lu cari simcard dulu gih tar gw tlp. Soalnya mobil gw sedan gag ckup baggagenya ada stroller Nadine. Lu klo makan di airport beli sandwich aja di subway long beef meatball cm $7.
Adi      : Larange mbot!
Anna   : Cepet ndang tuku, disini jam 5 everything close!
Adi      : Righty O, you’re ready to go. Your number is 0411837736

Hari ini saya akan disambut oleh Anna, Raj suaminya, dan Nadine, anaknya yang genap setahun. Mereka tinggal di Melbourne sejak menikah dua tahun lalu. Kami bertemu di depan Southern Cross. Ah, apa yang berubah? Anna tampak lebih seger, Raj, baru kedua kali ini kami bertemu setelah pernikahan mereka, saya agak lupa lupa tak ingat. Dan Nadine, anaknya, mirip Aishwarya Rai :)





ibtimes.com

NEXT: WHV 5

Saturday, September 7, 2013

Bingkai Momen Jebeng Thulik

Jika India mempunyai sungai yang disakralkan dan Meksiko memiliki Calakmul dari Bangsa Maya, ternyata, selain memiliki hutan tertua di Jawa, Banyuwangi memiliki Buyut Cili sebagai salah satu tempat sakral. Terletak di desa Kemiren, kecamatan Glagah, makam Buyut Cili tidak hanya menjadi rujukan masyarakat using sebelum menunaikan hajatan, tetapi juga para pendatang dan pelancong. Beruntung, saya ikut menikmati momen “nyekar” di makam Buyut Cili ini pada saat karantina finalis Jebeng Thulik, sebuah momen yang tidak saya peroleh di tempat lain.

Jebeng Thulik bagi saya bukanlah ajang untuk menjadi nomor satu, melainkan sebuah wadah membangun karakter dan memupuk kearifan lokal. Itu semua tampak pada saat karantina finalis Jebeng Thulik yang saya ikuti. Karantina ini ibarat sekolah non formal yang didalamnya berisi murid-murid terpilih. Kelas yang mengalir santai namun tetap fokus pada pembekalan dan materi tanpa ada kesan kontes didalamnya apalagi kontes kecantikan dan ketampanan untuk menjadi pemenang, karena setiap orang memiliki kelebihan masing-masing yang dianugerahkan Tuhan. Dengan bertukar pikiran, mengasah mental, dan menjalin persaudaraan antar peserta, proses karantina Jebeng Thulik berjalan dengan casual, ringan, dan penuh cerita serta jauh dari kesan “lomba”. Pada awal karantina, kami dibimbing oleh panitia dan senior untuk mengenal Banyuwangi lebih dekat melalui interaksi dengan warga lokal, menyambangi spot spot budaya dan heritage yang tidak saya ketahui sebelumya seperti mengunjungi makam Buyut Cili dan berdiskusi dengan kelompok seni. Bahkan secara langsung berdiskusi dengan Gandrung Temuk, Gandrung yang sudah kondang dengan suara emas dan gemulai tarinya.

Pada hari berikutnya kami bermain beragam game seru yang unik, permainan kelompok yang menguji kekompakan serta kemandirian peserta sehingga peserta lebih empati dan mengenal sosok satu sama lain dengan lebih dekat. Kami berbaur dengan induk semang selaku suku using asli, selama masa karantina, sejak bangun sampai menjelang tidur. Semua aktivitas mereka kami ikuti, pergi ke sawah, bermain di sungai, memasak di dapur, apapun, semuanya. Ya, merekalah orang tua kami selama masa karantina. Bahkan kami juga berkunjung dan gotong royong membantu pelaksanaan pesta perkawinan adat suku using yang sedang berlangsung saat itu. Unik, meriah, lucu :D

Masa pertengahan karantina, kami dibekali kemampuan public speaking, bahasa inggris, tari Banyuwangi, sistem pemerintahan dan kebijakan publik di Banyuwangi, serta pemahaman tentang batik Banyuwangi. Rupanya selama ini pemaknaan saya terhadap batik keliru. Saya pikir semua batik di Indonesia sama. Namun begitu melihat cantiknya motif batik dengan beragam corak khas batik using, saya paham betapa Banyuwangi kaya akan seni, bukan hanya tari dan lagu, tetapi juga seni lukis batik. Lebih kaget lagi ketika saya dihadiahi oleh panitia sebuah novel berbahasa using, Pereng Puthuk Giri. Ini menunjukkan betapa karya sastra tulis telah menghias masyarakat using dari dulu hingga kini. Sejauh yang saya tahu, hanya sastra lisan, basanan dan wangsalan lah yang kerap kali saya dengar di beberapa syair lagu Banyuwangi, namun ternyata sastra tulis turut mengilhami kehidupan mereka serta mempu menyatukan kekunoan dan kekinian masyarakat using ini. Pantas saja mayoritas seniman Banyuwangi multitalenta karena rupanya kota Gandrung ini, tempat kelahiran saya, adalah gudang seni dan lahan bakat yang mampu menumbuhkan bakat seni apapun dengan subur. Dan Jebeng Thulik inilah, salah satu pupuk lokal yang manjur!

Menjelang akhir karantina, Bupati, Kapolres beserta jajaran menghadiri acara malam karantina kami di Kemiren. Kami berdiskusi dengan gayeng hingga larut malam. Diskusi yang mengetengahkan persoalan budaya dan pemuda ini semakin mempertajam pisau analisis kami tentang budaya dan kearifan lokal. Ditambah lagi dengan semua kelebihan yang dimiliki Banyuwangi seperti terukir dalam syair Umbul-Umbul Blambangan: “Banyuwangi, kulon gunung wetan segoro, lor lan kidul alas angker keliwat liwat”, Banyuwangi menjelma sebagai penyangga budaya di timur Jawa, dan sangat potensial menjadi kabupaten produktif yang menghasilkan produk unggulan berkualitas termasuk industri pariwisata melalui tangan-tangan kreatif pemuda, siapa lagi kalau bukan kita.

Semua yang saya peroleh selama masa karantina adalah bekal, pengalaman, dan pelajaran berharga yang tidak saya dapatkan di bangku sekolah dan selama kuliah. Disini saya lebih mengenal dan mencintai Banyuwangi. Dan disini pula saya menemukan kawan-kawan yang luar biasa. Jauh di angan, tertanam keinginan saya mengajak seluruh pemuda Banyuwangi ikut serta menjadi bagian dari event tahunan yang luar biasa ini. Tak ada janji apa yang akan didapat, namun ada sebuah harapan besar disana, di pundak kitalah nantinya masa depan tertumpu. Paling tidak kelak anda bisa meneruskan tulisan saya menjadi coretan pengalaman yang lebih seru, dramatis, dan tak akan pernah anda lupakan. Yakinlah, seperti halnya kita yang ingin memulai menulis hari ini, bahwa tak peduli apakah kelak tulisan kita berguna, tulislah, apapun hasilnya.

Ndeleng barong Kemiren liwat Bakungan
Kadung mulih mampiro Rogojampi
Isun bengen seng paham
Kadung Buyut Cili ono ring Banyuwangi

Olehsari seblange perawan
Ulo gatotkoco ring omproke Gandrung
Kang Adi seng biso wangsalan
Semene kanggo riko, isun cukupi sulung

Melbourne, 7 September 2013