Wednesday, August 31, 2011

Long Trip SEASON 3 Chapter I (perjuangan bebas fiskal)

Semarang-Jakarta-Bangkok


By: Single Fighter

Dua tahun silam, saat manusia masih jarang plesir keluar negeri, aku merintis perjuangan melawan petugas imigrasi. Ya, tahun 2009 masih berlaku pajak fiskal. Tarif yang dibebankan kepada penumpang yang hendak meninggalkan Indonesia.
...
Flash back


18 Agustus 2009
Semarang.
Ba’da maghrib: Antre di stasiun tawang, tunggu kereta. Selepas Isya meluncur ke Jakarta

19 Agustus
Jakarta
Fajar: Jakarta here I come.
Subuh: Trip to terminal Gambir. Say hello to Monas. Mcuah!!!
Pagi: DAMRI to Soekarno Hatta AP

07.15 WIB
Setiba di Soetta, menuju konter imigrasi bandara.
Singkat cerita, 4 JAM cekcok di bandara menghasilkan kesepakatan: buat NPWP baru pribadi atau orang tua. Singkat cerita lagi ibuku mengurus NPWP di kantor pajak Banyuwangi. 
Hari itu juga kudapat nomor NPWP ibu lalu kusodorkan petugas:
“Monggo, Pak. Ini nomor NPWPnya”
“Lho, harus NPWP ayah. Kalu ibu nggak bisa, Mas!”
“Icik-icik....ehm!” &[] kado
***

16.00 WIB, flying without wings
Maghrib: mendarat di Suvarnabhumi, Bangkok. Sujud syukur. Tak henti berucap “Alhamdulillah, saya selamat!”
Perjalanan pertama keluar negeri, bagi siapapun, kemanapun, selalu berkesan. Perjalanan pertama keluar negeri bagiku lebih dari sekedar “menginjakkan kaki” akan tetapi membuka cakrawala baru, seperti kata om Rhenald Kasali, ibarat keluar dari tempurung, peroleh pencerahan dan cara pandang baru. Inilah dunia untuk kau karungi. Ya, dan malam ini adalah langkah awalku tuk menaklukkannya!
Dari terminal kedatangan aku sempatkan keliling bandara yang baru dibangun ini. Dari ujung ke ujung tampak beberapa spot masih under construction sampai akhirnya langkahku terhenti oleh seorang pria berambut panjang, Pikon. Dia adalah utusan  Greenway Thailand yang bertugas menjemputku. Oh, ya! Lupa. Aku ke Thailand dalam misi Intercultural Learning and Sustainable Development project by CCIVS UNESCO di tuan rumahi oleh Greenway Thailand, organisasi induk lingkungan seperti halnya IIWC yang mengirimku.
20.00
Dinner di kantin bandara sebelum menempuh 2 jam perjalanan ke Singburi, timur laut Bangkok. Memilih menu di warung “Muslim Food”
22.00
Tiba di Singburi. Cekcok sebentar dengan supir taksi, tawar menawar harga. Si sopir minta harga lebih tinggi dengan alasan gara2 beberapa kali nyasar nyari homestay.
20-08-2009
Kenalan dengan 30 peserta lain. Games, steam up, happy2an, have fun, pembekalan sampai malam. 
21-08-2009
Puasa hari pertama. Hm, sik asiiiiik!
Pembekalan hari kedua. Materi banyak yang menguap. Hoaaaaahm! Ck ck


22 s/d 25-08-2009
Intercultural learning, belajar tentang Asia dan Eropa (wah… kuliahnya anak HI nih!)
Gender, stereotype, communications, religions, culture shock (alu yang ini bagian anak komunikasi)
Global warming (MIPA)
Debat,
Presentasi,
Diskusi,
Energizer,
Ishoma,
dll.
26 s/d 30-08-2009
Pembagian kelompok. 5 orang dalam setiap kelompok disebar ke seluruh Thailand dan beberapa di Cambodia. Aku bersama anggota kelompok (Hayato, Japan; Palmy, Thailand; Dong, Vietnam; Kelli, Estonia; Marcin, Polland)  kebagian Ratchaburi, salah satu provinsi di Thailand.

Bersambung: Long Trip SEASON 3 chapter 2 (Ratchaburi, Hua-hin, Bangkok, Jakarta)


Tuesday, August 23, 2011

Flashback!


Banyuwangi: Legenda dan Hari Jadi


Sebelum menj(L)ajah Banyuwangi, alangkah mulia jika kita mengenal Banyuwangi lebih dulu, karena kamu pasti penasaran kenapa ada banyu, wangi pula. Perjalananmu akan kosong tanpa mengetahui enensi sebuah “Banyuwangi”. Tak nikmat rasanya menjelajah ujung timur jawa dwipa tanpa paham apa itu Blambangan. Kurang sopan kalau tidak paham sejarah tapi dengan semena-mena kita menikmati hasilnya. Kamu akan tahu betapa pentingnya bagi orang Banyuwangi sebuah “ilmu” dan tradisi para manusia kerbau. Kamu akan paham kenapa seseorang yang tidak pernah dan tidak bisa menari tiba-tiba berlenggak-lenggok manis dengan mata tertutup dalam kondisi trance. Kamu akan temukan…

Seperti halnya cerita adat daerah lain, Banyuwangi juga demikian. Memiliki banyak versi. Namun versi ala museum Blambangan inilah yang dirasa tepat untuk menggambarkan sejarah Blambangan sehingga Harjaba (hari jadi Banyuwangi) selalu diperingati setiap Desember.

Tanggal 18 Desember 1771 merupakan peristiwa sejarah yang paling tua yang patut diangkat sebagai hari jadi Banyuwangi yaitu perang Puputan Bayu. Sebelum peristiwa puncak perang Puputan Bayu tersebut sebenarnya ada peristiwa lain yang mendahuluinya, yang juga heroik-patriotik, yaitu peristiwa penyerangan para pejuang Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Puger (putra Wong Agung Wilis) ke benteng VOC di Banyualit pada tahun 1768.

Namun sayang peristiwa tersebut tidak tercatat secara lengkap tanggalnya. Selain itu terkesan bahwa dalam penyerangan tersebut Banyuwangi kalah total, sedang pihak musuh hampir tidak menderita kerugian apapun. Pada peristiwa ini Pangeran Puger gugur, sedang Wong Agung Wilis, setelah Lateng dihancurkan, terluka, tertangkap dan kemudian dibuang ke Pulau Banda.

Berdasarkan data sejarah, nama Banyuwangi tak lepas dari kejayaan Blambangan. Sejak jaman Pangeran Tawang Alun (1655-1691) dan Pangeran Danuningrat (1736-1763), bahkan juga sampai ketika Blambangan berada di bawah perlindungan Bali (1763-1767), VOC belum pernah tertarik untuk memasuki dan mengelola Blambangan.

Pada tahun 1743 Jawa Bagian Timur (termasuk Blambangan) diserahkan oleh Pakubuwono II kepada VOC. Namun VOC masih menomorduakannya. Setelah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan dan mendirikan kantor dagangnya (komplek Inggrisan sekarang) pada tahun 1766 di bandar kecil Banyuwangi (yang pada waktu itu juga disebut Tirtaganda, Tirtaarum atau Toyaarum), maka VOC langsung bergerak untuk segera merebut Banyuwangi dan mengamankan seluruh Blambangan. Secara umum dalam peprangan yang terjadi pada 1767-1772 itu, VOC memang berusaha merebut seluruh Blambangan. Namun secara khusus sebenarnya VOC terdorong untuk segera merebut Banyuwangi, yang pada waktu itu sudah mulai berkembang menjadi pusat perdagangan di Blambangan, yang telah dikuasai Inggris.

Dengan demikian jelas kalau sekiranya Inggris tidak bercokol di Banyuwangi pada tahun 1766, mungkin VOC tidak akan buru-buru melakukan ekspansinya ke Blambangan pada tahun 1767. Dan karena itu mungkin perang Puputan Bayu tidak akan terjadi (puncaknya) pada 18 Desember 1771. Dengan demikian terdapat hubungan erat antara perang Puputan Bayu dengan lahirnya sebuah tempat yang bernama Banyuwangi. Dengan kata lain, perang Puputan Bayu merupakan bagian dari proses lahirnya Banyuwangi. Karena itu, ditetapkan tanggal 18 Desember 1771 sebagai hari jadi Banyuwangi.

Menurut cerita rakyat yang masih juga menjadi perdebatan shahih tidaknya, nama Banyuwangi muncul dari penggalan katanya: banyu berarti air, dan wangi berarti harum. Hal ini berdasar cerita, pada zaman dahulu di kawasan ujung timur Jawa terdapat sebuah kerajaan besar yang diperintah oleh seorang Raja yang mempunyai seorang putra bernama Raden Banterang. Ketika Banterang berburu ditengah hutan dia bertemu dengan wanita cantik yang melarikan diri dari serangan penjajah kerajaannya, Klungkung, dan ayahnya mati terbunuh dalam peristiwa itu. Nama gadis itu adalah Surati. Melihat penderitaan putri raja tersebut, Raden Banterang mengasihani, menolongnya, lalu memboyongnya pulang. Tak lama kemudian mereka menikah.

Pada suatu hari, Surati berjalan-jalan sendirian ke luar istana. Ia bertemu dengan kakak kandungnya bernama Rupaksa. Maksud kedatangan Rupaksa adalah untuk mengajak adiknya membalas dendam, karena Raden Banterang telah membunuh ayahandanya. Surati tidak mau mengamini ajakan kakanya. “Yowes!” Rupaksa marah mendengar jawaban adiknya. Namun, ia sempat memberikan sebuah kenangan berupa ikat kepala kepada Surati yang harus diletakkan dibawah tempat tidur Surati.

Ketika Banterang berada di tengah hutan, ia bertemu dengan Rupaksa yang menyerukan kepada Banterang bahwa keselamatan Banterang sedang terancam oleh bahaya yang direncanakan istrinya, dengan bukti sebuah ikat kepala milik lelaki yang disuruh Surati untuk membunuh Banterang. Setelah tiba di istana, Raden Banterang segera mencari ikat kepala itu. Busyet dah! Istri gue ternyata teroris!!! *nggak segitunya kalee…*. Singkat omong, sebelum nyawanya terancam, Banterang lebih dahulu harus mencelakakan istrinya dengan cara menenggelamkan di sebuah sungai keruh. Surati bersumpah, jika air sungai tersebut tetap keruh, berarti ia memang bohong. Akan tetapi sebaliknya, jika berubah menjadi harum dan bening, Surati tidak bersalah. Oh, apa gerangan terjadi?? Benar, sungai itu berubah menjadi bening dan harum. Dalam bahasa Jawa disebut Banyuwangi. Banyu air dan wangi harum. Nama Banyuwangi kemudian menjadi nama kota “Banyuwangi”.

Versi lain yang hampir mirip, menceritakan adanya tokoh yang terkenal yaitu Putri Sritanjung yang di bunuh oleh suaminya di pinggir sungai karena suaminya sangsi akan janin dalam rahimnya bukan merupakan anaknya tapi hasil perselingkuhan ketika dia di tinggal menuju medan perang ke negeri sebrang*semacam TKI gitu kali ya*. Dengan sumpah janjinya kepada suami sang putri berkata: “Jika darahku yang mengalir di sungai ini pesing memang janin ini bukan anakmu tapi jika berbau wangi maka janin ini adalah hasil perbuatan kita”. Maka seketika itu darah yang mengalir ke dalam sungai itu berbau wangi, maka menyesallah sang suami yang dikenal sebagai Raden Banterang ini. Jeng jeeeeng!! Singkat omong, jadilah “Banyuwangi”.


Banyuwangi Kini
 


Kabupaten Banyuwangi di utara berbatasan dengan Kabupaten Situbondo, sebelah timur berbatasan dengan Selat Bali, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Jember dan Bondowoso dimana terdapat rangkaian dataran tinggi Ijen, dengan puncaknya gunung Raung (3.282 m) dan gunung Merapi (2.800 m), keduanya adalah gunung api aktif, dan sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia. Luas wilayah Kabupaten terluas di Jawa Timur ini 5.782,50 Km2 yang terbagi menjadi dua puluh satu kecamatan (sekarang 24) antara lain: 1. Pesanggaran 2. Siliragung 3. Bangorejo 4. Purwoharjo 5. Tegaldlimo 6. Muncar 7. Cluring 8. Gambiran 9. Tegalsari 10. Glenmore 11. Kalibaru 12. Genteng 13. Srono 14. Rogojampi 15. Kabat 16. Singojuruh 17. Sempu 18. Songgon 19. Glagah 20. Licin 21. Banyuwangi kota 22. Giri 23. Kalipuro 24. Wongsorejo
Secara umum K abupaten Banyuwangi memiliki potensi alam yang luar biasa besar. Mulai dari lahan pertanian, perkebunan dan kawasan pantai yang membentang luas. Banyuwangi adalah satu-satunya kabupaten di Jawa Timur yang memiliki tiga Kesatuan Pemangku Hutan (KPH). Artinya, daerah ini memiliki banyak lahan produktif yang bisa digarap untuk kesejahteraan penduduknya. Seperti apakah potret kemiskinan di Banyuwangi?

Di tengah tingginya potensi pertanian itu, jumlah penduduk miskin justru terus bertambah. Pertambahan ini melaju pesat ketika harga kebutuhan pokok melambung. Puncaknya, naiknya harga BBM yang mencapai dua kali lipat. Masyarakat dengan penghasilan minim kian terpuruk dengan meningkatnya harga kebutuhan pokok. Akibatnya, angka penduduk miskin kian membengkak.

Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Banyuwangi pada 2007 mencapai 154.000 KK atau sekitar 460.000 jiwa. Total keseluruhan penduduknya berjumlah 1,6 juta jiwa. Jika dihitung secara kasar, angka kemiskinannya masih relatif tinggi atau sekitar 28,75%. Jumlah ini begitu ironis jika dibandingkan dengan potensi yang dimiliki Banyuwangi. Kabupaten Banyuwangi merupakan sentra penghasil ikan laut. Produksi perikanan dari perairan umum di kabupaten ini berjumlah 195.699 ton, sekurangnya 22 persen berasal dari Kecamatan Muncar.

Di sektor pertanian, padi merupakan bahan pangan andalan, tidak kurang dari 682.000 ton padi dihasilkan dari luas panen padi sawah yang mencapai 118.577 hektar. Beras yang dihasilkan adalah jenis IR-64 beraroma wangi yang merupakan salah satu andalan kegiatan perdagangan Banyuwangi.

Di sektor peternakan, ternak andalan adalah sapi potong. Banyuwangi rata-rata memberikan kontribusi sebesar 13.000 ekor per tahun dengan kenaikan sebanyak sepuluh persen. Lahan untuk pangan ternak seperti rumput raja, rumput gajah, dan rumput sateria seluas 302,45 hektar dinilai mencukupi untuk mendukung kegiatan beternak sapi. Sedangkan untuk sektor perkebunan, komoditas unggulannya adalah kakao, kopi, karet, tebu glondong, gula merah, dan kopra.

Sektor perdagangan tidak hanya mengandalkan penjualan produk pertanian saja tetapi juga produk hasil olahan besar, sedang, dan kecil serta kerajinan rumah tangga seperti anyaman di Rogojampi misalnya, dan batik uling, batik khas Banyuwangi.
Penunjang kegiatan perdagangan kabupaten ini antara lain pelabuhan tanjung wangi dan pelabuhan ketapang. Keberadaan kedua pelabuhan ini dapat menunjang kegiatan ekonomi di Banyuwangi, terutama untuk mengembangkan sektor pariwisata (BPS Propinsi Jawa Timur, 2007).

Orang Banyuwangi menyebut dirinya orang Bali yang Islam. Proksimitas dengan Bali adalah faktor utama. Selain menjadi perlintasan dari Jawa ke Bali, juga merupakan daerah pertemuan berbagai jenis kebudayaan dari berbagai wilayah. Budaya masyarakat Banyuwangi diwarnai oleh budaya Jawa terutama Jawa Timur dan Mataraman, Bali, Madura, Melayu, Arab, Eropa dan budaya lokal yang saling isi mengisi dan akhirnya menjadi tipikal yang tidak ditemui di wilayah manapun. Oleh sebab itu terdapat beberapa kata dalam bahasa Using sama dengan beberapa kata dalam bahasa Bali, Surabaya, Ambon, Madura, Tegal, dan daerah lain. Namun secara umum, tiga entitas (Jawa Mataraman, Madura – Pandalungan/Tapal Kuda dan Using) merupakan elemen paling dominan. Persebaran tiga entitas ini bisa ditelisik dengan karakter wilayah secara geografis yaitu Jawa Mataraman lebih banyak mendominasi daerah pegunungan yang banyak hutan seperti wilayah Tegaldlimo, Pesanggaran, Purwoharjo, Bangorejo dan Tegalsari. Sedangkan masyarakat Madura lebih dominan didaerah gersang seperti di kecamatan Wongsorejo, Muncar dan Glenmore, serta dataran tinggi Kalibaru. Sementara masyarakat Using dominan di wilayah subur di sekitar Banyuwangi kota, Giri, Glagah, Kabat, Rogojampi, Songgon, Singojuruh, Cluring, sebagian Genteng, Srono, dan Gambiran.

Walaupun menjadi etnis khas Banyuwangi, secara proporsi, penduduk suku Using bukan mayoritas di 24 kecamatan. Tidak ada data pasti yang menyebutkan berapa jumlah suku Using di Banyuwangi. Namun sebagai gambaran, jumlah warga Using sekitar 20 % dari total populasi. Terbanyak Jawa ( 67 % ) sisanya Madura ( 12 % ) dan suku lain.
Meski berkelompok dalam cluster wilayah tertentu, masyarakat Using tidak bersifat ekslusif seperti masyarakat Tengger yang hidup di dataran tinggi Tengger atau masyarakat Baduy di Banten. Using sangat adaptif, terbuka dan kreatif terhadap unsur kebudayaan lain. Salah satunya tampak dari ciri-ciri musik Banyuwangi yang sering berkolaborasi dengan Bali, Sunda, Madura, Arab, dan Melayu.

Masyarakat Banyuwangi mayoritas beragama Islam, tetapi karakter sinkretisme agama dan budaya sangat kental. Layaknya boso Suroboyoan, karakter egaliter menjadi ciri yang sangat dominan dalam bahasa Using. Bahasa Using tidak mengenal tingkatan bahasa seperti bahasa Jawa atau bahasa Madura. Struktur masyarakat Using pun tidak berorientasi pada priayi seperti orang Jawa juga tidak pada kyai seperti orang Madura dan tidak juga pada Ksatria seperti kasta orang Bali
Banyuwangi dalam sejaharnya pernah terkenal dengan sebutan lumbung beras nasional, menunjukkan bahwa potensi sektor pertaniannya sangat luar biasa. Hal ini belum ditambah dengan berbagai macam perkebunan besar yang tersebar di di tlatah Blambangan. Ini telah diketahui dan dilirik oleh Bangsa Eropa masa lampau. Mereka berfikir bahwa kekuatan daerah ujung timur pulau Jawa ini adalah agroindustri. Untuk itu, tidak heran jika kala itu berbagai perkebunan dibuka, irigasi diperbaiki dan sarana transportasni dikembangkan untuk menunjang sektor pertanian.

Akhir-akhir ini muncul gonjang-ganjing pengelolaan pulau di Banyuwangi. Banyuwangi memiliki 15 pulau kecil diantaranya Tabuhan yang terletak di selat Bali, kurang lebih 20 km dari Banyuwangi kota masuk kecamatan Wongsorejo, Banyuwangi utara. Potensi bawah laut yang luar biasa terdapat di pulau ini. Air jernih, berbagai spesies ikan, terumbu karang, udang, dan ribuan satwa laut sangat menjanjikan sebagai objek wisata. Namun sarana listrik, transportasi, akses jalan masih menjadi kendala.
(dari berbagai sumber, gambar: dokumentasi pribadi)