Monday, December 19, 2011

Longtrip SEASON 3 Chapter 2 (foto bareng ladyboy)

Singburi-Ratchaburi-Cha Am (Hua Hin)-Bangkok

Lanjutan trip sebelumnya (baca disini)



Ratchaburi, kota unik di Thailand yang memesona. Di ratchaburi kudapat pengalaman belajar Public Relations di power plant terbesar di Thailand (kala itu). Ya, selama 5 hari disini, satu tim berenam ("Adi" The only Indonesian, "Hayato" Tokyo boy, "Dong" The Hanoi moon, "Kelli" Estonia, "Palm" Beach Thai, "Marcin" Pollish) eksplorasi Ratchaburi province. Kami tinggal di homestay, rumah pak RT. Selain diajak keliling "The PLN of Thailand", kami banyak terlibat dengan penduduk lokal, mulai dari ikut perayaan pernikahan, school visit, diskusi dengan local government, sampai foto bareng ladyboys dan jogging dengan bara biksu muda : p

Hari terakhir di Ratchaburi, tuan rumah mengajak kami keliling kota, museum Thailand yang letaknya di pucuk gunung dengan arsitektur khas yang "unique". Hamparan kota tampak dari sini. Hm, AMAZING! semacam museum Bung Karno gitu kali ya? 

Tak lupa pula kunjungan ke Ratchaburi Floating Market. Di pasar ini, kita bisa bernostalgia dengan naik perahu sambil belanja, murah pula...aseeeeek! Eits... pinter2 nawar ya. Keliatan kok kalau kita turis Asia, tanpa mengemis pun pasti dikasih murah. Haha... trust me, it works! aku berhasil menawar 2 buah topi seharga 200 baht dari 360 baht 

Sore hari, trip to cobra show. Gelar akbar pertunjukan seni kobra. Wuihhhhhh! sangar cak! Disini baru kulihat ular kobra terbesar dan paling beracun nomor dua di dunia (katanya). But yeahh,,,watever whenever, the circus was truly awesome! Kameraku hampir jatuh gara2 mau disembur king cobra.

Jelang maghrib, ngabuburit @ BATS CAVE. Trip berlanjut ke gua kelelawar. Disini, saban sore ribuan kelelawar bangun dari gua raksasa dibalik gunung. Mereka akan menghisap darah anak-anak kecil yang durhana pada orang tua, hehe... Nggak bos, mereka menuju ke barat mencari kitab suci. !!@@#$%^%*^&#$#!((!  

Sungguh horor, para kelelawar itu ibarat prajurit Cuba yang diseru meluncur deras menyerbu Amerika. Setiap detik, ratusan prajurit penghisap darah keluar dari sarangnya menuju kiblat. Adegan ini berlangsung hampir sejam (iiih, ngeri bangeeet)
#Serunya buka puasa bareng secangkir es krim Walls sambil nonton the bats men# 

Esoknya, salam perpisahan dengan pak RT, kami berlima capcus dari Ratchaburi menuju Cha Am beach, Hua Hin, Provinsi Phetchaburi. Wah, serasa di kuta, banyak resortnya. Kami menginap di resort deket pantai, cuma 20 meter!!! Fasilitas komplit dan gratis, shower, kulkas, sofa, AC, hmmmm adem deh pokoknya. icik- icik...

Kali pertama main banana boat, weksss mau muntah. Haha...ndeso! Ya iya lah...sore2, perut laper, dikocak sampe jungkir balik. Kelli ngak ikut main, takut ombak. Jadilah cuma berlima gila-gilaan: Adi, Hayato, Palm, Dong, Marcin. Wuuuuuussshh! swiiing! Byurrr!!! 

Jelang malam, explore Cha Am sambil cari bekal buat sahur. Biar kayak turis beneran, makan di resto.. ramai betul ya Hua Hin malam ini? Oh, ternyata mau ada KTT ASEAN. Minggu depan pak beye main kesini.

NEXT: Season 3 Chapter 3)

Friday, November 25, 2011

PM (Red Island)

Gunung Batok Versi Banyuwangian

Bingung juga kenapa disebut pulau merah. Padahal pulau ini berwarna hijau berselimut pohon-pohon rindang. Barangkali yang dimaksud “merah“ adalah kenangan nilai sejarah untuk para pemberani yang bersembunyi dibalik pulau ini dan telah memukul mundur penjajah keluar dari Blambangan pada masanya, lalu kucuran darah mengalir mengiringi kilatan pedang disekeliling pulau ini sebagai bukti peperangan yang amat dahsyat. Singkat omong, jadilah pulau merah (Musa VS Fir’aun versi Banyuwangian). Anyway, itu cerita ngawur. Lebih shahihnya silakan telusuri sendiri :-B kutu buku

Pulau merah mirip batok tengkurap dengan pantat lebih menjulang runcing. Saat air laut surut kamu bisa mencapai pulau ini tanpa perahu karena letaknya tak jauh dari pantai. Karang merah kecoklatan dan gua buntu beserta kelelawarnya bisa kalian nikmati dibalik pulau ini. (O... mungkin karena bebatuan karang merah ini jadi disebut Pulau Merah???). Banyaknya batu-batu karang disekitar PM menjadikannya tempat lindung bagi satwa kecil laut semisal bintang laut. Tak sedikit pemburu kerang lalu lalang disekitar sini.

Selain mengelilingi pulau, dengan 35.000 IDR kamu bisa menikmati banana boat dengan deburan ombak khas pantai selatan. Tempat penginapan dan wahana belajar surfing, surf house juga tersedia 100 meter tepat sebelum pantai. Hm, di pantai inilah pengalaman pertamaku belajar surfing ama bule Jepun 

Selain itu, PM adalah tempat bakaran favorit keluarga dan teman-temanku. Kamu bisa membeli ikan segar dari tempat pelelangan ikan beberapa kilometer sebelah barat pulau merah, Pancer, dan menyantapnya di PM. Malas berasap-asap? Lesehan ikan bakar adalah pilihan tepat sebelum kamu meninggalkan PM. Juga terdapat pura Segara Tawangalun, tempat sembahyang dan upacara Mekiyis umat Hindu. Beberapa warung lesehan terdapat di kiri pantai sebelum pura ini.


PM tergolong pantai semi sepi-ramai. Tak begitu ramai, kadang juga sepi, seringkali ramai. Cocok juga untuk melamun, seperti yang kerap dilakukan bule lokal yang hampir setiap sore menyambangi pulau ini.


Terletak di kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi selatan, jalan utama menuju PM adalah rute menuju Sarongan sebelum ke Teluk Ijo "Green Bay" (baca disini) dan Sukamade (baca disini). Terdapat rambu penunjuk setelah pasar Silirbaru di Pesanggaran untuk menuju PM. Jalan aspal, masih mulus. Terdapat kendaraan umum baik angkot maupun bis kecil bermerek “Minto” atau “Kasto” yang berangkat dari terminal/pasar Pesanggaran menuju Pancer seharga IDR 5.000.

Thursday, November 24, 2011

Fortunately I am lost!


If you want to know your country, travel.
If you want to see the world, travel.
If you want to learn languages, travel,.
If you want to find friends, travel.
If you want to learn geography, architect, travel.
If you want to respect religions & cultures, travel.
If you want to open your mind...
TRAVEL...

Ada ketakutan bagi sebagian orang ketika hendak menyambangi tempat asing. Terlebih saat akan melancong ke luar negeri. Kekhawatiran jumlah uang, buta peta, dan kendala bahasa adalah faktor utama yang membuat mereka berfikir ribuan kali untuk jadi “bule”. Dan diantara ketiga faktor tersebut (uang, peta, bahasa), yang paling sering dibahas adalah nekat (kok bisa???). Haha, iya. Ini versi saya. Maaf saya menghakimi istri anda (lhooo..)

Uang? No more expensive. Bukanlah hal baru kalau WNI sudah banyak yang berplesiran ke luar negeri. Liburan ke luar negeri bukan hanya untuk para koruptor. Luar negeri bukanlah barang mewah. Banyak tiket pesawat murah. Itulah kenapa saya punya bisnis travel. Promo nih, yeee :"> pipi memerah 

Peta? Kan ada peta elektronik. Bejibun di internet, banyak aplikasi peta di hape. Hari gini hapenya Cuma bisa SMS ama telpon??? Buang ke laut jawa aja!

Bahasa? TOEFL aja bisa online... translator di internet juga siap bantu. Bukannya di laptopmu ada transtool nya? Kurang apa coba??????

Nekat? Nah, ini yang gk ada program aplikasinya di hape. Tapi bener lho, coba deh dipikir lagi. “Hari gini mana ada orang jalan-jalan keluar negeri dengan hanya modal nekat?” Itu kan yang ada di pikiran Anda? Ingat ya, banyak orang sepakat dengan frase “Indonesia negara berkembang”. Ini menunjukkan betapa dari dulu kita hanya berkembang (malah lebih banyak kempisnya). Dan anehnya kita mengangguk saja tanda sepakat. Seolah-olah kita tidak mau disebut sebagai negara maju (lalu apa hubungnnya dengan nekat?). Oh iya...

Anda pasti sudah membaca tulisan saudara saya, mas Rhenald (yang belum, silakan simak disini). Selain tulisan itu, akhir-akhir ini banyak buku membahas hal serupa. Well, tanpa menyebut nama bukunya (baca: lupa) pada umumnya saya sepakat dengan isinya. Semua mengajarkan betapa pentingnya kemandirian dan percaya diri. Itulah yang bisa mengangkat harkat dan martabat kita sebagai satu-satunya bangsa didunia yang memiliki ribuan pulau, bahasa, dan adat istiadat.

Kembali ke awal, saya adalah mahasiswa yang punya hobi jalan-jalan (baca: traveling). Hampir setiap awal semester saya merencanakan liburan untuk semester saya. Itu artinya liburan saya untuk semester depan sudah saya rencanakan mulai hari ini. Kenapa? One simple reason: biar dapat tiket murah (banget) keluar negeri!  Selanjutnya, saat semester berjalan saya tinggal menyisihkan sedikit demi sedikit beasiswa saya untuk dihabiskan di negara tujuan. Caranya, mengurangi jumlah makan (dari 3 menjadi 1-2x sehari), jalan kaki ke kampus (saya tidak bawa sepeda motor untuk ke kampus karena memang ndak punya, dan sepeda onthel sudah saya wariskan), lalu puasa senin kamis (ini yang paling jarang, haha..)

Saya tidak pernah berpikir kemana saya akan pergi dan tempat apa yang saya akan kunjungi. Begitu ada tiket murah langsung saya beli. Saya biarkan angin membawa saya terbang menemukan teman baru, tempat baru, keluarga, mungkin juga jodoh, hehe... kan katanya jodoh sudah ada yang atur (tul ngga’?). Saya bukanlah orang yang sistematis mengatur jadwal, bukan pula orang yang tertib. Saya merasa nikmat menjalani apa yang ada, dan satu lagi...saya paling suka kemendadakan, nekat, dan spontan. Those are so called, art. Rasanya gimanaaa gitu...seperti ada orang lain dalam diri saya ketika itu terjadi. Ada sebuah perintah dari otak yang entah sadar atau tidak tiba-tiba begini, begitu, seperti ini, seperti itu. Asik aja, gitu...

Saya tidak pernah bingung nanti di Thailand mau ngapain, di Singapur takut kehabisan duwit, di Jepang takut nyasar, di Perancis mau nginep dimana. Atau, boleh nggak ya, pake kaos oblong ama sandal jepit di imigrasi bandara Jeddah? They are bullshit! Buang pikiran itu jauh2. Iam not lost as long as Iam on my earth.

Percaya atau tidak, banyak hal unik terjadi ketika saya nyasar di negara tujuan. Ketika saya hendak trip ke Singapore, flight saya 07.25, saya baru berangkat menuju bandara pukul 06.45 dan parkir di parking lot Adi Sucipto 07.05. Tapi saya tetap bisa terbang tuh. Saat nyasar pertama kali mendarat di Changi, nyasar cari hotel (hampir 2 jam), semua berjalan begitu indah. Haha... begitu pula saat saya diusir petugas stasiun Okayama karena ketiduran, akhirnya saya menghabiskan musim dingin di Jepang malam itu di pinggir jalan. Saya tidur berselimut sleeping bag disamping perempatan. Mau dikatain gelandangan, street children...persetan yang penting saya tidur. Demikian juga saat kehabisan duwit di Pekanbaru hingga saya dapat Temanbaru. Ceritanya tak bisa saya ungkap disini. Semua saya simpan sebagai pengalaman indah. Cukup senyum saja :) senang

Beda dengan para eksekutif kantoran yang mengantongi ratusan credit card (emang ada ya???) sehingga bisa “sekarepe dewe” booking hotel dan beli tiket pesawat kapanpun, masyarakat golongan agak berkecukupan (malu mau bilang golongan bawah, hehe) seperti saya,  putar otak untuk menyisihkan uang jajan kampus dan harus betah melek mantengin website penerbangan biar dapat promo flight. Sekali lagi, semua ada seninya. Di beberapa buku seringkali diulas tentang otak kanan dan spontanitas. Setelah saya baca-baca, benar. Itu terjadi! Ternyata yang bekerja adalah otak kanan saya. Saya baru ngeh, ternyata saya tidak memiliki kepribadian ganda, hihihi

Puji tuhan ya, Alhamdulillah sampai sekarang saya masih bisa pulang kerumah, bisa cium pipi kedua orang tua saya. Saya selamat dari gempa dan tsunami di Jepang 11 Maret 2011. Doa mereka dikabulkan :) senang:) senang:) senang



Saturday, September 3, 2011

Passport, Tiket Untuk Melihat Dunia

Inspired by: Rhenald Kasali

"Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa orang yang sudah memiliki pasport. Tidak mengherankan, ternyata hanya sekitar 5% yang mengangkat tangan. Ketika ditanya berapa yang sudah pernah naik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah pelancong lokal.
Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan memberi tugas mengurus pasport. Setiap mahasiswa harus memiliki “surat ijin memasuki dunia global.”. Tanpa pasport manusia akan kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril. Dua minggu kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya pasport.
Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini? Saya katakan, pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu. Tidak boleh ke Malaysia, Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam. Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau.
“Uang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?”
Saya katakan saya tidak tahu. Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang. Dan begitu seorang pemula bertanya uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint. Dan hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin.
Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga para dosen steril yang kurang jalan-jalan. Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran banyak dosen yang takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri. Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju. Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan wisdom.
Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para pelancong, dan diantaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok backpackers. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan super murah, menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang bekerja di warung sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis, yang merantau ke Pulau Jawa berbekal seadanya.Ini berarti tak banyak orang yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh, bahkan semewah di masa lalu.
Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar yang dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko, menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut kursus, dan membawa dolar. Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan menunjukkan pasportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara. Selain kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi. Saat teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri.
The Next Convergence
Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari Revolusi Industri. dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong.
Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak pernah keluar negeri sekalipun. Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memiliki pasport.Maka bagi saya, penting bagi para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia. Berbekal lima ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan. Rumah-rumah kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan infrastruktur yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal sebaliknya ada di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di universitas Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat minimal satu negara.
Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide nya. Kami menembus Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung melawan arus globalisasi. Namun belakangan saya berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif? Maka perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani. Saat anak-anak Indonesia ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti menjelajahi dunia tanpa rasa takut. Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah punya pasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi, jangan tanya darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket, menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan kotak sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya sendiri.
Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing.
Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit. Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita, gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka.
Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki pasport. Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari pasport pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar negeri. Di Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya mendapat bea siswa di Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah dengan Gayus Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang negara."
Rhenald Kasali

Guru Besar Universitas Indonesia




Wednesday, August 31, 2011

Long Trip SEASON 3 Chapter I (perjuangan bebas fiskal)

Semarang-Jakarta-Bangkok


By: Single Fighter

Dua tahun silam, saat manusia masih jarang plesir keluar negeri, aku merintis perjuangan melawan petugas imigrasi. Ya, tahun 2009 masih berlaku pajak fiskal. Tarif yang dibebankan kepada penumpang yang hendak meninggalkan Indonesia.
...
Flash back


18 Agustus 2009
Semarang.
Ba’da maghrib: Antre di stasiun tawang, tunggu kereta. Selepas Isya meluncur ke Jakarta

19 Agustus
Jakarta
Fajar: Jakarta here I come.
Subuh: Trip to terminal Gambir. Say hello to Monas. Mcuah!!!
Pagi: DAMRI to Soekarno Hatta AP

07.15 WIB
Setiba di Soetta, menuju konter imigrasi bandara.
Singkat cerita, 4 JAM cekcok di bandara menghasilkan kesepakatan: buat NPWP baru pribadi atau orang tua. Singkat cerita lagi ibuku mengurus NPWP di kantor pajak Banyuwangi. 
Hari itu juga kudapat nomor NPWP ibu lalu kusodorkan petugas:
“Monggo, Pak. Ini nomor NPWPnya”
“Lho, harus NPWP ayah. Kalu ibu nggak bisa, Mas!”
“Icik-icik....ehm!” &[] kado
***

16.00 WIB, flying without wings
Maghrib: mendarat di Suvarnabhumi, Bangkok. Sujud syukur. Tak henti berucap “Alhamdulillah, saya selamat!”
Perjalanan pertama keluar negeri, bagi siapapun, kemanapun, selalu berkesan. Perjalanan pertama keluar negeri bagiku lebih dari sekedar “menginjakkan kaki” akan tetapi membuka cakrawala baru, seperti kata om Rhenald Kasali, ibarat keluar dari tempurung, peroleh pencerahan dan cara pandang baru. Inilah dunia untuk kau karungi. Ya, dan malam ini adalah langkah awalku tuk menaklukkannya!
Dari terminal kedatangan aku sempatkan keliling bandara yang baru dibangun ini. Dari ujung ke ujung tampak beberapa spot masih under construction sampai akhirnya langkahku terhenti oleh seorang pria berambut panjang, Pikon. Dia adalah utusan  Greenway Thailand yang bertugas menjemputku. Oh, ya! Lupa. Aku ke Thailand dalam misi Intercultural Learning and Sustainable Development project by CCIVS UNESCO di tuan rumahi oleh Greenway Thailand, organisasi induk lingkungan seperti halnya IIWC yang mengirimku.
20.00
Dinner di kantin bandara sebelum menempuh 2 jam perjalanan ke Singburi, timur laut Bangkok. Memilih menu di warung “Muslim Food”
22.00
Tiba di Singburi. Cekcok sebentar dengan supir taksi, tawar menawar harga. Si sopir minta harga lebih tinggi dengan alasan gara2 beberapa kali nyasar nyari homestay.
20-08-2009
Kenalan dengan 30 peserta lain. Games, steam up, happy2an, have fun, pembekalan sampai malam. 
21-08-2009
Puasa hari pertama. Hm, sik asiiiiik!
Pembekalan hari kedua. Materi banyak yang menguap. Hoaaaaahm! Ck ck


22 s/d 25-08-2009
Intercultural learning, belajar tentang Asia dan Eropa (wah… kuliahnya anak HI nih!)
Gender, stereotype, communications, religions, culture shock (alu yang ini bagian anak komunikasi)
Global warming (MIPA)
Debat,
Presentasi,
Diskusi,
Energizer,
Ishoma,
dll.
26 s/d 30-08-2009
Pembagian kelompok. 5 orang dalam setiap kelompok disebar ke seluruh Thailand dan beberapa di Cambodia. Aku bersama anggota kelompok (Hayato, Japan; Palmy, Thailand; Dong, Vietnam; Kelli, Estonia; Marcin, Polland)  kebagian Ratchaburi, salah satu provinsi di Thailand.

Bersambung: Long Trip SEASON 3 chapter 2 (Ratchaburi, Hua-hin, Bangkok, Jakarta)


Tuesday, August 23, 2011

Flashback!


Banyuwangi: Legenda dan Hari Jadi


Sebelum menj(L)ajah Banyuwangi, alangkah mulia jika kita mengenal Banyuwangi lebih dulu, karena kamu pasti penasaran kenapa ada banyu, wangi pula. Perjalananmu akan kosong tanpa mengetahui enensi sebuah “Banyuwangi”. Tak nikmat rasanya menjelajah ujung timur jawa dwipa tanpa paham apa itu Blambangan. Kurang sopan kalau tidak paham sejarah tapi dengan semena-mena kita menikmati hasilnya. Kamu akan tahu betapa pentingnya bagi orang Banyuwangi sebuah “ilmu” dan tradisi para manusia kerbau. Kamu akan paham kenapa seseorang yang tidak pernah dan tidak bisa menari tiba-tiba berlenggak-lenggok manis dengan mata tertutup dalam kondisi trance. Kamu akan temukan…

Seperti halnya cerita adat daerah lain, Banyuwangi juga demikian. Memiliki banyak versi. Namun versi ala museum Blambangan inilah yang dirasa tepat untuk menggambarkan sejarah Blambangan sehingga Harjaba (hari jadi Banyuwangi) selalu diperingati setiap Desember.

Tanggal 18 Desember 1771 merupakan peristiwa sejarah yang paling tua yang patut diangkat sebagai hari jadi Banyuwangi yaitu perang Puputan Bayu. Sebelum peristiwa puncak perang Puputan Bayu tersebut sebenarnya ada peristiwa lain yang mendahuluinya, yang juga heroik-patriotik, yaitu peristiwa penyerangan para pejuang Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Puger (putra Wong Agung Wilis) ke benteng VOC di Banyualit pada tahun 1768.

Namun sayang peristiwa tersebut tidak tercatat secara lengkap tanggalnya. Selain itu terkesan bahwa dalam penyerangan tersebut Banyuwangi kalah total, sedang pihak musuh hampir tidak menderita kerugian apapun. Pada peristiwa ini Pangeran Puger gugur, sedang Wong Agung Wilis, setelah Lateng dihancurkan, terluka, tertangkap dan kemudian dibuang ke Pulau Banda.

Berdasarkan data sejarah, nama Banyuwangi tak lepas dari kejayaan Blambangan. Sejak jaman Pangeran Tawang Alun (1655-1691) dan Pangeran Danuningrat (1736-1763), bahkan juga sampai ketika Blambangan berada di bawah perlindungan Bali (1763-1767), VOC belum pernah tertarik untuk memasuki dan mengelola Blambangan.

Pada tahun 1743 Jawa Bagian Timur (termasuk Blambangan) diserahkan oleh Pakubuwono II kepada VOC. Namun VOC masih menomorduakannya. Setelah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan dan mendirikan kantor dagangnya (komplek Inggrisan sekarang) pada tahun 1766 di bandar kecil Banyuwangi (yang pada waktu itu juga disebut Tirtaganda, Tirtaarum atau Toyaarum), maka VOC langsung bergerak untuk segera merebut Banyuwangi dan mengamankan seluruh Blambangan. Secara umum dalam peprangan yang terjadi pada 1767-1772 itu, VOC memang berusaha merebut seluruh Blambangan. Namun secara khusus sebenarnya VOC terdorong untuk segera merebut Banyuwangi, yang pada waktu itu sudah mulai berkembang menjadi pusat perdagangan di Blambangan, yang telah dikuasai Inggris.

Dengan demikian jelas kalau sekiranya Inggris tidak bercokol di Banyuwangi pada tahun 1766, mungkin VOC tidak akan buru-buru melakukan ekspansinya ke Blambangan pada tahun 1767. Dan karena itu mungkin perang Puputan Bayu tidak akan terjadi (puncaknya) pada 18 Desember 1771. Dengan demikian terdapat hubungan erat antara perang Puputan Bayu dengan lahirnya sebuah tempat yang bernama Banyuwangi. Dengan kata lain, perang Puputan Bayu merupakan bagian dari proses lahirnya Banyuwangi. Karena itu, ditetapkan tanggal 18 Desember 1771 sebagai hari jadi Banyuwangi.

Menurut cerita rakyat yang masih juga menjadi perdebatan shahih tidaknya, nama Banyuwangi muncul dari penggalan katanya: banyu berarti air, dan wangi berarti harum. Hal ini berdasar cerita, pada zaman dahulu di kawasan ujung timur Jawa terdapat sebuah kerajaan besar yang diperintah oleh seorang Raja yang mempunyai seorang putra bernama Raden Banterang. Ketika Banterang berburu ditengah hutan dia bertemu dengan wanita cantik yang melarikan diri dari serangan penjajah kerajaannya, Klungkung, dan ayahnya mati terbunuh dalam peristiwa itu. Nama gadis itu adalah Surati. Melihat penderitaan putri raja tersebut, Raden Banterang mengasihani, menolongnya, lalu memboyongnya pulang. Tak lama kemudian mereka menikah.

Pada suatu hari, Surati berjalan-jalan sendirian ke luar istana. Ia bertemu dengan kakak kandungnya bernama Rupaksa. Maksud kedatangan Rupaksa adalah untuk mengajak adiknya membalas dendam, karena Raden Banterang telah membunuh ayahandanya. Surati tidak mau mengamini ajakan kakanya. “Yowes!” Rupaksa marah mendengar jawaban adiknya. Namun, ia sempat memberikan sebuah kenangan berupa ikat kepala kepada Surati yang harus diletakkan dibawah tempat tidur Surati.

Ketika Banterang berada di tengah hutan, ia bertemu dengan Rupaksa yang menyerukan kepada Banterang bahwa keselamatan Banterang sedang terancam oleh bahaya yang direncanakan istrinya, dengan bukti sebuah ikat kepala milik lelaki yang disuruh Surati untuk membunuh Banterang. Setelah tiba di istana, Raden Banterang segera mencari ikat kepala itu. Busyet dah! Istri gue ternyata teroris!!! *nggak segitunya kalee…*. Singkat omong, sebelum nyawanya terancam, Banterang lebih dahulu harus mencelakakan istrinya dengan cara menenggelamkan di sebuah sungai keruh. Surati bersumpah, jika air sungai tersebut tetap keruh, berarti ia memang bohong. Akan tetapi sebaliknya, jika berubah menjadi harum dan bening, Surati tidak bersalah. Oh, apa gerangan terjadi?? Benar, sungai itu berubah menjadi bening dan harum. Dalam bahasa Jawa disebut Banyuwangi. Banyu air dan wangi harum. Nama Banyuwangi kemudian menjadi nama kota “Banyuwangi”.

Versi lain yang hampir mirip, menceritakan adanya tokoh yang terkenal yaitu Putri Sritanjung yang di bunuh oleh suaminya di pinggir sungai karena suaminya sangsi akan janin dalam rahimnya bukan merupakan anaknya tapi hasil perselingkuhan ketika dia di tinggal menuju medan perang ke negeri sebrang*semacam TKI gitu kali ya*. Dengan sumpah janjinya kepada suami sang putri berkata: “Jika darahku yang mengalir di sungai ini pesing memang janin ini bukan anakmu tapi jika berbau wangi maka janin ini adalah hasil perbuatan kita”. Maka seketika itu darah yang mengalir ke dalam sungai itu berbau wangi, maka menyesallah sang suami yang dikenal sebagai Raden Banterang ini. Jeng jeeeeng!! Singkat omong, jadilah “Banyuwangi”.


Banyuwangi Kini
 


Kabupaten Banyuwangi di utara berbatasan dengan Kabupaten Situbondo, sebelah timur berbatasan dengan Selat Bali, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Jember dan Bondowoso dimana terdapat rangkaian dataran tinggi Ijen, dengan puncaknya gunung Raung (3.282 m) dan gunung Merapi (2.800 m), keduanya adalah gunung api aktif, dan sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia. Luas wilayah Kabupaten terluas di Jawa Timur ini 5.782,50 Km2 yang terbagi menjadi dua puluh satu kecamatan (sekarang 24) antara lain: 1. Pesanggaran 2. Siliragung 3. Bangorejo 4. Purwoharjo 5. Tegaldlimo 6. Muncar 7. Cluring 8. Gambiran 9. Tegalsari 10. Glenmore 11. Kalibaru 12. Genteng 13. Srono 14. Rogojampi 15. Kabat 16. Singojuruh 17. Sempu 18. Songgon 19. Glagah 20. Licin 21. Banyuwangi kota 22. Giri 23. Kalipuro 24. Wongsorejo
Secara umum K abupaten Banyuwangi memiliki potensi alam yang luar biasa besar. Mulai dari lahan pertanian, perkebunan dan kawasan pantai yang membentang luas. Banyuwangi adalah satu-satunya kabupaten di Jawa Timur yang memiliki tiga Kesatuan Pemangku Hutan (KPH). Artinya, daerah ini memiliki banyak lahan produktif yang bisa digarap untuk kesejahteraan penduduknya. Seperti apakah potret kemiskinan di Banyuwangi?

Di tengah tingginya potensi pertanian itu, jumlah penduduk miskin justru terus bertambah. Pertambahan ini melaju pesat ketika harga kebutuhan pokok melambung. Puncaknya, naiknya harga BBM yang mencapai dua kali lipat. Masyarakat dengan penghasilan minim kian terpuruk dengan meningkatnya harga kebutuhan pokok. Akibatnya, angka penduduk miskin kian membengkak.

Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Banyuwangi pada 2007 mencapai 154.000 KK atau sekitar 460.000 jiwa. Total keseluruhan penduduknya berjumlah 1,6 juta jiwa. Jika dihitung secara kasar, angka kemiskinannya masih relatif tinggi atau sekitar 28,75%. Jumlah ini begitu ironis jika dibandingkan dengan potensi yang dimiliki Banyuwangi. Kabupaten Banyuwangi merupakan sentra penghasil ikan laut. Produksi perikanan dari perairan umum di kabupaten ini berjumlah 195.699 ton, sekurangnya 22 persen berasal dari Kecamatan Muncar.

Di sektor pertanian, padi merupakan bahan pangan andalan, tidak kurang dari 682.000 ton padi dihasilkan dari luas panen padi sawah yang mencapai 118.577 hektar. Beras yang dihasilkan adalah jenis IR-64 beraroma wangi yang merupakan salah satu andalan kegiatan perdagangan Banyuwangi.

Di sektor peternakan, ternak andalan adalah sapi potong. Banyuwangi rata-rata memberikan kontribusi sebesar 13.000 ekor per tahun dengan kenaikan sebanyak sepuluh persen. Lahan untuk pangan ternak seperti rumput raja, rumput gajah, dan rumput sateria seluas 302,45 hektar dinilai mencukupi untuk mendukung kegiatan beternak sapi. Sedangkan untuk sektor perkebunan, komoditas unggulannya adalah kakao, kopi, karet, tebu glondong, gula merah, dan kopra.

Sektor perdagangan tidak hanya mengandalkan penjualan produk pertanian saja tetapi juga produk hasil olahan besar, sedang, dan kecil serta kerajinan rumah tangga seperti anyaman di Rogojampi misalnya, dan batik uling, batik khas Banyuwangi.
Penunjang kegiatan perdagangan kabupaten ini antara lain pelabuhan tanjung wangi dan pelabuhan ketapang. Keberadaan kedua pelabuhan ini dapat menunjang kegiatan ekonomi di Banyuwangi, terutama untuk mengembangkan sektor pariwisata (BPS Propinsi Jawa Timur, 2007).

Orang Banyuwangi menyebut dirinya orang Bali yang Islam. Proksimitas dengan Bali adalah faktor utama. Selain menjadi perlintasan dari Jawa ke Bali, juga merupakan daerah pertemuan berbagai jenis kebudayaan dari berbagai wilayah. Budaya masyarakat Banyuwangi diwarnai oleh budaya Jawa terutama Jawa Timur dan Mataraman, Bali, Madura, Melayu, Arab, Eropa dan budaya lokal yang saling isi mengisi dan akhirnya menjadi tipikal yang tidak ditemui di wilayah manapun. Oleh sebab itu terdapat beberapa kata dalam bahasa Using sama dengan beberapa kata dalam bahasa Bali, Surabaya, Ambon, Madura, Tegal, dan daerah lain. Namun secara umum, tiga entitas (Jawa Mataraman, Madura – Pandalungan/Tapal Kuda dan Using) merupakan elemen paling dominan. Persebaran tiga entitas ini bisa ditelisik dengan karakter wilayah secara geografis yaitu Jawa Mataraman lebih banyak mendominasi daerah pegunungan yang banyak hutan seperti wilayah Tegaldlimo, Pesanggaran, Purwoharjo, Bangorejo dan Tegalsari. Sedangkan masyarakat Madura lebih dominan didaerah gersang seperti di kecamatan Wongsorejo, Muncar dan Glenmore, serta dataran tinggi Kalibaru. Sementara masyarakat Using dominan di wilayah subur di sekitar Banyuwangi kota, Giri, Glagah, Kabat, Rogojampi, Songgon, Singojuruh, Cluring, sebagian Genteng, Srono, dan Gambiran.

Walaupun menjadi etnis khas Banyuwangi, secara proporsi, penduduk suku Using bukan mayoritas di 24 kecamatan. Tidak ada data pasti yang menyebutkan berapa jumlah suku Using di Banyuwangi. Namun sebagai gambaran, jumlah warga Using sekitar 20 % dari total populasi. Terbanyak Jawa ( 67 % ) sisanya Madura ( 12 % ) dan suku lain.
Meski berkelompok dalam cluster wilayah tertentu, masyarakat Using tidak bersifat ekslusif seperti masyarakat Tengger yang hidup di dataran tinggi Tengger atau masyarakat Baduy di Banten. Using sangat adaptif, terbuka dan kreatif terhadap unsur kebudayaan lain. Salah satunya tampak dari ciri-ciri musik Banyuwangi yang sering berkolaborasi dengan Bali, Sunda, Madura, Arab, dan Melayu.

Masyarakat Banyuwangi mayoritas beragama Islam, tetapi karakter sinkretisme agama dan budaya sangat kental. Layaknya boso Suroboyoan, karakter egaliter menjadi ciri yang sangat dominan dalam bahasa Using. Bahasa Using tidak mengenal tingkatan bahasa seperti bahasa Jawa atau bahasa Madura. Struktur masyarakat Using pun tidak berorientasi pada priayi seperti orang Jawa juga tidak pada kyai seperti orang Madura dan tidak juga pada Ksatria seperti kasta orang Bali
Banyuwangi dalam sejaharnya pernah terkenal dengan sebutan lumbung beras nasional, menunjukkan bahwa potensi sektor pertaniannya sangat luar biasa. Hal ini belum ditambah dengan berbagai macam perkebunan besar yang tersebar di di tlatah Blambangan. Ini telah diketahui dan dilirik oleh Bangsa Eropa masa lampau. Mereka berfikir bahwa kekuatan daerah ujung timur pulau Jawa ini adalah agroindustri. Untuk itu, tidak heran jika kala itu berbagai perkebunan dibuka, irigasi diperbaiki dan sarana transportasni dikembangkan untuk menunjang sektor pertanian.

Akhir-akhir ini muncul gonjang-ganjing pengelolaan pulau di Banyuwangi. Banyuwangi memiliki 15 pulau kecil diantaranya Tabuhan yang terletak di selat Bali, kurang lebih 20 km dari Banyuwangi kota masuk kecamatan Wongsorejo, Banyuwangi utara. Potensi bawah laut yang luar biasa terdapat di pulau ini. Air jernih, berbagai spesies ikan, terumbu karang, udang, dan ribuan satwa laut sangat menjanjikan sebagai objek wisata. Namun sarana listrik, transportasi, akses jalan masih menjadi kendala.
(dari berbagai sumber, gambar: dokumentasi pribadi)





Thursday, July 14, 2011

Green Bay


Ke”pribadi”an perawan

Prolog...

Sayup-sayup jangkrik menemani obrolan kami sepanjang jalan. Seribu langkah kami tinggalkan, bintang mulai mengintip. Mas Rohman menyalakan senter kecil. Selepas kumandang adzan magrib, kuawali trip menuju Green Bay. Kami berempat (Adi, Noer, Rohman, & seorang local people sebut saja mas "Samseng") berangkat dari rumah sodara mas Samseng, tempat kami menitipkan motor di Rajegwesi.  

Tak mudah untuk bisa sampai pantai batu sebelum Green Bay karena aku harus terpeleset dan roboh beberapa kali. Medan yang cukup menantang. Mengandalkan ranting-ranting kecil adalah satu2nya cara meraba gelap. Namun seruan ombak yang memanggilku dari depan cukup membuatku "berani". Sesampai di lokasi kami segera membangun tenda dan mempersiapkan api unggun. Bulan merekah, perlahan merangkak naik dari balik bukit sebelah timur, bulat penuh. Hangatnya malam minggu ini adalah nostalgia persaudaraan...(28 April 2011)

***

Selain mobil pribadi, rumah pribadi, segala hal berbau “pribadi” adalah dambaan setiap orang. Kata berkonotasi “milik” ini dipandang sebagai kosakata mewah karena hanya dimiliki orang-orang beruang, kecuali yang satu ini. Green Bay menawarkan segala ke”pribadi”an. Seperti namanya, teluk ini tampak hijau bersih dari atas. Bisikan ombak-karang, rindangnya pepohonan hutan, dan gurihnya suara air terjun, adalah keperawanan yang ditawarkan secara pribadi oleh pantai tersembunyi di ujung timur selatan. Orang menyebutnya teluk ijo. Disebut teluk karena lautnya sedikit masuk ke darat. Disebut hijau karena memang air laut tampak hijau alami dari atas.

Green Bay dibatasi oleh hutan, karang, dan pepohonan yang menjadi satu membentuk huruf U dengan hamparan pasir putih gurih di pantainya. Inilah surga pribadi sebenarnya. Kalau di ujung timur Banyuwangi selatan terdapat Alas Purwo pancoran sebelum Plengkung, maka di Banyuwangi selatan bagian barat juga demikian, Teluk ijo sebelum Sukamade. Teluk ijo masih masuk kawasan Rajegwesi. Hanya 2 km dari Rajegwesi. Satu jalur dengan Sukamade, tepatnya disebelah kiri gunung. Terdapat rambu penunjuk "Green Bay" yang akan menuntunmu menemukannya. Trekking menuju teluk ijo sedikit curam karena kamu harus menuruni bukit untuk mencapainya. Sesekali keluarga monyet berseliweran disekitar sini. 

Sepuluh menit untuk mencapai teluk ijo dari rambu penunjuk. Pantai batu adalah jaminan tebusan. Selain sebagai tempat istirahat, pemandangan unik bisa kamu nikmati disini. Pantai batu tak berpasir. Hanya bebatuan berukuran besar yang menghampar sebelum teluk ijo. Kalian bisa melewati pantai ini untuk menembus teluk ijo. Teluk ijo terletak diujung pantai batu, tepatnya dibalik semak-semak. Inilah ciri khas pantai selatan Banyuwangi, PERAWAN.

Walau beberapa kali berkunjung, aku baru sekali menginap di pantai ini. Kamu bisa meminta rujukan penduduk Rajegwesi boleh tidaknya menginap di Green Bay. Namun jangan sekali-kali menginap di pantai Rajegwesi karena pantai ini sarat akan mitos. Aku pernah diusir penduduk dari pantai ini tengah malam gara-gara ketahuan akan menginap. At last, aku harus meringkas tenda dan perapian. Namun teluk ijo sungguh menjanjikan, aku merelokasi tenda menuju teluk ijo esok harinya. Kekecewaanku tertebus!!!

Seratus meter sebelum Green Bay, kamu bisa menjajaki trekking jalan kaki sepanjang 2 km ke arah timur menuju bunker dan gua buatan jepang. Dua ratus meter setelah bunker jepang terdapat kompleks bunga raksasa Raflesia untuk melengkapi perjalananmu. Kamu bisa berkunjung sebelum atau setelah Green Bay. Namun aku sarankan setelah, karena kawasan ini cocok untuk menu dessert wisatamu dari Sukamade atau Green Bay. Terdapat jalan setapak tembus pantai Rajegwesi dari bunker.

Mencapai Green Bay dari Banyuwangi:

Jalur menuju Green Bay searah dengan rute Sukamade (baca disini


- Wajib bawa bekal air minum, karena air terjun tentative

- Tidak semua wisatawan sadar lingkungan, termasuk pecinta alam (kadang). Mari sadarkan diri untuk menjaga kelestarian lingkungan termasuk Green Bay, sebelum keperawanan Green Bay terkoyak oleh sampah terutama sampah bekas pengunjung.

- Membawa tenda dan beberapa alas sangat membantu

Photos by: Noer Karmawan

Thursday, July 7, 2011

Gua Maria Jatiningrum

Ponari versi Banyuwangian






Adakah diantara anda yang pernah mencicip air ajaib Ponari? Rindu ingin bernostalgia dengannya? Atau malah belum mencoba sama sekali karena capek ngantri. Kini tak perlu khawatir lagi, segera cobalah yang satu ini, air suci Gua Maria*jeng jeeeeeng!!!* (as seen on TV)  :(tv) nonton TV

Mungkin masih sedikit asing nama ini. Namun dikalangan pebisnis dan spiritualis, nama Gua Maria sudah sangat akrab. Mereka biasa mendatangi tempat ini untuk merenung dan meneguk air suci dari sumur Gua Maria. Jadi, tidak hanya berkhasiat menyembuhkan penyakit saja tapi juga melancarkan jalan bisnis. Sepertinya sebelum jauh berbicara air suci, tahukah kamu kenapa tempat ini disebut Gua Maria?

Menurut penuturan mbah Jumadi, seorang juru kunci makam Gua Maria, kira-kira 57 tahun silam hiduplah seorang romo/pastur Belanda yang menjadikan tempat ini peribadatan. Selanjutnya, karena aku malas menulis, singkat cerita jadilah tempat ini Gua Maria.:::^^::: panas

Disebut Gua Maria karena tempat ini terdiri dari dua pos utama, Gua dan Maria. Pos pertama adalah patung Mother Maria dan pos kedua terletak di sebelah kiri patung yaitu Gua Semedi. Sedangkan asal sebutan Jatiningrum, aku belum tahu. Padahal semua pos berada dibawah naungan puluhan pohon saman yang rimbun sejuk, bukan pohon jati. Sejak pintu masuk hingga menuju gua semedi, dahan saman meneduhi perjalananmu (Gua Maria Samaningrum???). Sepanas apapun sengatan matahari di luar sana dijamin tempat ini baik untuk berlindung. Lalu dimana letak air suci? Air suci terletak di dalam sumur suci sebelah kanan patung. Air ini berasal dari sumber yang kata mbah Jumadi, kalau digali lebih dalam lagi bisa MUNCRAT! 

Kunjungan paling rame adalah masa-masa nyekar dan malam Jumat kliwon*tanpa dendam*. Banyak pengunjung dari Banyuwangi seperti Muncar dan Wonosobo (dominan) dan beberapa daerah lain baik dari Banyuwangi maupun luar kota. Mereka biasa minum langsung ditempat lalu bersemedi di dalam gua. Tak sedikit pula yang membawanya pulang.

Banyak cerita menarik disini. Salah satunya adalah cerita seorang Pak Haji asal Surabaya yang beragama Islam*oh, ada pak haji selain islam?*. Dia tak memiliki anak selama belasan tahun. Setelah minum air ini, kata mbah Jumadi lagi, akhirnya dia bisa memiliki keturunan. Begitu pula dengan seorang pasien asal Muncar yang telah menghabiskan puluhan juta untuk berobat. Setelah minum air ini, sirnalah penyakit menahun itu. Masih banyak lagi cerita-cerita menarik tentang Gua Maria. Namun yang lebih menarik adalah tempat ini tidak hanya dikunjungi oleh umat Kristiani saja, tetapi juga berbagai agama dan keyakinan. Namun satu hal yang perlu dicatat, syirik dan kepercayaan kadang tak bersela. Kalau kamu masih mempercayai Tuhan, air apapun yang kamu minum, kalau kamu yakin bahwa itu semata-mata hanyalah media dari Tuhan untuk menyembuhkan, maka ambillah*kok malah ndalil*.

Malas menciduk air di sumur? Panitia telah menyediakan air dalam bentuk kemasan (the new “Aguamaria”) yang dapat kamu beli sebelah pintu masuk. Air dijual seharga IDR 5.000 dalam bentuk botol minyak tanah. Disini juga terdapat toko Bodronoyo yang menyediakan benda-benda rohani. &[] kado







Mencapai Gua Maria
Gua Maria terletak di kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi selatan. Jalan aspal mulus. Searah menuju Grajagan. Sebelum Grajagan terdapat rambu menuju Gua Maria. Tersedia sarana transportasi menuju kesana sesuai rute. Baik dari Banyuwangi kota ataupun Kalibaru yang bertemu di pertigaan Benculuk.
Bis dari arah Banyuwangi kotaà pertigaan Benculuk IDR 5.000, Kalibaruàpertigaan Benculuk IDR 8.000. Pertigaan BenculukàGua Maria naik angkot sekitar IDR 10.000