Saturday, May 21, 2011

Letter for "Sri"

Andai Sri Bisa Bicara

Melayang di udara adalah impianku masa kecil. Terbang kesana kemari melintasi rumah-rumah, gunung dan sungai adalah cita-cita favoritku selain jadi dokter. Siapa yang tak ingin terbang. Rasanya semua anak kecil pernah memimpikan hal serupa. Begitu indah...

Kini aku mampu meraihnya, terbang diatas rel. Namun justru inilah yang membuatku merinding. Pertama kali melewati jembatan sepanjang 600 meter ini pori-pori kulitku mengerut. Rasa deg-deg ser membelah rasa takut. Berada di ketinggian berpuluh meter melintasi perkebunan di bawah sana, rumah-rumah yang hanya tampak atapnya yang kuno, serta jalan tak beraspal menghubungkan rumah-rumah itu adalah pemandangan indah yang hanya dapat aku nikmati sebulan sekali.




Perjalanan Banyuwangi-Surabaya sering aku tempuh bersama Sri. Entah sudah berapa ratus kali aku bersamanya, namun Sri adalah salah satu sahabatku yang tak pernah mengeluh. Dia selalu ikhlas mengangkut ratusan penumpang sekali jalan, baik penumpang biasa yang selalu on time dengan karcisnya, atau penumpang gadungan tanpa karcis yang biasa menyelip di kamar mandi saat petugas karcis lewat. Sri mengantarkan mereka mengadu nasib, menuntut ilmu, dan mata pencaharian lalu menjemput mereka kembali pulang saat waktunya tiba: tahun baru, mudik, libur panjang.

Entah hari libur atau hari kerja, Sri selalu ceria. Ramai dengan riangnya adik-adik kecil yang berdiri di pangkuan ibunya sambil menyaksikan gunung diluar, ramai dengan penumpang yang kakinya terinjak pedagang asongan, dan ramai oleh teriakan musisi cilik yang lebih memilih menghibur ketimbang masuk kelas mendengarkan cerita guru TK dan kawan-kawannya. Tak jarang, tampak pula ekspresi reuni teman lama. Sri mempertemukan mereka yang telah berpisah bertahun-tahun, mempertemukan jodoh, sanak keluarga, saudara, teman baru, atau tetangga yang kebetulan satu gerbong. Tak jarang mereka mudik dari stasiun yang sama dan baru bertemu di stasiun tujuan lalu terkejut setelah turun, kemudian salaman.


Baik penumpang langganan maupun anyaran, Sri berusaha adil dengan menempatkan formasi kanan tiga kiri dua. Namun yang sering terjadi justru kanan empat kiri tiga. Tak peduli berapa kali mereka bersama Sri, kursi-kursi itu tersedia bagi siapapun, tanpa pilih kasih. Berjas, oblongan, berkerudung, singlet, semua menikmati, kecuali yang kalah start mereka akan bertanya kepada beberapa penumpang, “turun stasiun mana Pak/Bu?”

Awalnya aku pikir adalah rel kereta yang mengular diatas tanah perkebunan, namun setelah menyadari jembatanlah yang dilaluinya, sungguh perjuangan berat bagi Sri. Saat lewat jembatan ini, Sri berusaha menjaga keseimbangan sementara penumpang berseliweran, mondar-mandir kursi-toilet, nongkrong disamping pintu, dan sibuk membuangi sampah dari jendela. Melewati jembatan ini yang tampak adalah hamparan luas membentang dibawah, sebuah lahan pegunungan hijau. Semakin ke selatan semakin kekar!

Ini adalah kawasan elok dengan rumah di cekungan hijau. Atap-atap coklat bekas lumut kering peninggalan Belanda menghias kontras. Di tengah kawasan inilah berdiri jembatan api, jembatan untuk dilewati kereta api.


Beberapa kilometer sebelumnya adalah terowongan menembus Kumitir, gunung batas Banyuwangi-Jember. Terowongan tua sepanjang 1 km itu bertuliskan 1901. Barangkali maksudnya adalah tahun pembuatan, atau mungkin penyelesaian. Memasuki terowongan ini Sri nuwun sewu kepada teman-teman lama, nama-nama pejuang yang belum sempat terukir dalam buku sejarah yang mati disepanjang terowongan ini pada masanya.


Apapun yang dilakukannya, kereta manula ini telah berusaha menghibur seluruh penumpang selama puluhan tahun. Dan akan terus menghibur hingga tutup usianya yang kesekian abad nanti...



No comments:

Post a Comment