Monday, September 8, 2014

WHV 16 (Putaran Terakhir)

Previous post here


Memang benar, setelah usia 25 waktu terasa seperti berlari. Ini yang saya alami. Umur 25 berjalan dengan cepat. Rambut keritingku sudah mulai krewul dan pigmen pembalut kulit semakin menghitam. Waktu setahun di Australia rasanya tak kumanfaatkan dengan sebaik mungkin.

Mengingat kembali masa-masa di Australia yang indah sungguh manis dan tak kan terlupa. Satu-satunya saksi bisu yang tak bisa menghapus pengalaman indah ini adalah waktu. Setiap bingkai sudut dan jengkal kota tertanam jelas dalam ingatan. Kawan-kawan seperjuangan, gedung bertingkat, rumah sakit, stasiun, salju, angin, laut, gunung, semua adalah pelangi WHV. Rasa kedekatan dengan Australia semakin bertambah. Ingin rasanya suatu saat kembali kesini bernostalgia kembali entah dengan jalan apa.

Pengalaman bekerja dan pengetahuan tentang komunikasi, budaya, sedikit hubungan internasional dan bisnis rupanya berhasil menarik minat saya untuk kembali kesini suatu saat nanti. Ratusan kilometer Indonesia-Australia bukanlah jarak yang pendek, namun bukan berarti tidak mungkin. Perasaan lah yang telah telah membangun jauh dan pendek yang sebenarnya, bukan jarak. Ingin rasanya kelak membangun hubungan bisnis dengan negara ini. Banyuwangi yang strategis dan potensial sangat mungkin memiliki hubungan dekat dengan Australia. Pariwisata, pertanian, pertambangan, transportasi, apapun itu.


Konflik dan hubungan politik yang memanas bukanlah halangan untuk membangun sebuah keharmonisan. Semua pernah mengalami konflik, mulai rumah tangga, desa, ras, daerah, apalagi negara. Seiring dengan munculnya konflik bilateral, kedua belah pihak terus belajar memahami satu sama lain dan bagaimana mempertahankan hubungan, itulah seni. Karena sejatinya konflik lah yang membangun hubungan. Terimakasih banyak untuk Australia, Indonesia, dan teman-teman telah memberikan saya banyak pengalaman berharga. Entah berupa apa, suatu saat nanti saya akan kembali.

Monday, August 18, 2014

WHV 15 (The last Asparaboy)

Previous post here

Adi picks orange
Duka cita menyelimuti para pemetik sayur. Mereka sorak gembira ria menyambut datangnya musim asparagus. Tapi kali ini musim panen sedikit telat jadi sembari menunggu asparagus tumbuh dewasa hingga siap panen saya dan teman teman cari sampingan, petik jeruk. Capeknya bukan main. Tinggi pohon jeruk ini bisa mencapai 5 meter. Semua pemetik harus naik turun tangga untuk memetik jeruk. Alat yang digunakan adalah karung kecil berselempang di badan macam kantong kanguru yang berfungsi sebagai tas. Jika penuh jeruk didalam tas ini akan dimasukkan dalam basket besar berukuran hampir 2x2 meter. Capek tapi senang, senang tapi capek.

Seminggu setelah petik jeruk musim asparagus dimulai. Pabrik mulai sibuk. Mesin penggiling dan pemotong berjalan seperti biasanya dan para karyawan bekerja dengan sepenuh hati. Dolar pun mengalir :D

Jatah WHV saya hanya sampai bulan depan karena saya harus kembali pulang sebelum tanggal 8 September 2014 terhitung setahun sejak kedatangan saya di Australia (7 September 2013). Mau tidak mau, bisa tidak bisa saya harus meninggalkan benua kanguru sebulan lagi.

NEXT: WHV 16

Sunday, August 17, 2014

Lensa 17

Kawan, hari ini, setahun yang lalu, kita bersama sama menantang diri kita untuk membuktikan salah satu ciptaan tuhan. Kita bersama menaklukkan rasa takut dalam diri kita demi menggapai salah satu mahakarya-Nya. Setiap langkah adalah kerendahan hati, yang dengannya kita semakin merunduk, bahu membahu, dan berbagi.

Perjalanan ini bukan semata-mata menghentakkan  kaki, bukan pula sekedar mengabadikan memori, perjalanan ini serupa lensa yang mengabadikan segalanya, mempertemukan kita dalam sebuah frame petualangan yang akan menjadi memorabilia bagi kita dalam mensyukuri indahnya karya sang Khaliq. Jejak kaki dan tekad kita tak kan pernah terhapus oleh debu dan angin. Walau nama kita tak sempat terukir di puncak itu, saya yakin tekad bulat kawan-kawan telah lebih dulu terukir bersama tetesan hujan, selimut awan, dan hembusan angin Mahameru. Ia akan terkenang sampai tuhan benar-benar mengijinkan kita menyatu dengan tanah ini, nanti.

Saya tidak tahu kenapa Tuhan pertemukan kita dalam cakrawala Semeru kala itu. Dia berikan karunianya salah satunya dengan menanamkan kelebihan pada setiap manusia. Pertemuan itu menyadarkan saya tak ada manusia yang biasa-biasa saja. Setiap manusia memiliki keyakinan dalam hidupnya bahwa tak ada prestasi yang tidak mampu diraih. Pun kita, memiliki keyakinan untuk menggapai sesuatu, bukan hanya milik sendiri tetapi juga keyakinan bersama karena dengan keyakinan bersama, hal sesulit apapun dapat mudah diraih. Dan di tempat itu kita dipertemukan dalam keyakinan dan tujuan yang sama, belajar.

Perjalanan berawal siang itu, di samping hamparan maha indah sebuah danau bernama Ranu Pane. Puluhan pendaki hilir mudik menggendong ransel di punggung sampai-sampai kepala mereka tak tampak dari belakang karena ukuran ransel mereka lebih besar dari sofa. Peralatan kami ala kadarnya. Tenda dan kompor gas portable, itu yang paling mumpuni, selain jaket, sarung, matras, dan beberapa bungkus sari roti. Bagi kami itu lebih dari cukup. Kami bukanlah pendaki, belum pula pantas disebut pecinta alam. Kami beranjangsana ke Semeru atas dasar wisata, jalan-jalan lebaran. Rasa penasaran kami akan puncak tertinggi di Jawa segera hilang setelah tiba-tiba kami putuskan melakukan perjalanan ini satu hari sebelum kami tinggalkan rumah.

Perjalanan kami mulai selepas sholat Jumat di masjid sebelah Ranu Pane. Kemudian kami dipertemukan dua kawan baru dengan tujuan sama, Ranu Kumbolo. Kami putuskan berangkat bersama dan akan tinggal bersama di satu tenda ini. Mereka punya niat yang sama dengan kami berempat, wisata.
Kini kami berenam, menjejak arah yang sama. Hentakan kaki kami iringi dengan gending-gending Banyuwangi. Alam turut melantun bersama irama angin. Sungguh nyaring. Bukit di samping kami terlihat gagah menambah semangat kami. Terlihat ujung mahameru mengintip dari balik awan. Alam seakan tersenyum. Bukan letih yang kami rasakan, melainkan kebersamaan dan kedekatan dengan sang pencipta. Bukan dada yang terbuka lebar, bukan tangan yang kami lipat. Semakin ke atas kami mendaki, semakin kami merunduk, semakin dekat pula kami pada-Mu.

Tak terasa separo hari kami berjalan, kini kami menghadap bukit di depan sana. Sebuah cekungan memisahkan kami dan bukit itu. Cekungan berisi air jernih yang amat luas, menjadikan ia sebuah danau yang elok. Cincin danau itu adalah bukit yang saling sambung manyambung. Awan gemulai bersanding langit biru cerah diatas sana. Hias rindang rumput dan pepohonan hijau menambah sejuk pemandangan. Andai Shah Rukh Khan dan Aishwarya Ray disini pasti mereka akan bernyanyi “Humko Humise Churalo”. Ya, dia adalah Ranu Kumbolo.

Tuhan memberikan secuil surga ini untuk kami, surga yang terlalu lembut untuk dikoyak, begitu lugu untuk dicabik. Ibarat hati, alam kami diciptakan untuk disentuh dan dijaga. Tuhan mengajarkan hambanya untuk belajar dengan alam agar mencintai, menghargai, dan merawatnya. Bukan Dia yang marah selama ini, bukan pula alam yang menyiksa kami dengan bencana. Kami lah yang tidak sadar bahwa selama ini, surga yang kami tempati ini telah kami hina dan caci maki, telah kami kotori dengan ulah kami sendiri. Kami tak sadar bahwa kami telah hidup bersama surga-surga kecil ini, di sebuah negara maritim yang setiap pulaunya menyimpan harta, setiap ombaknya menghasilkan mutiara, dan setiap jengkal tanahnya menumbuhkan harapan, dari puncak salju hingga dasar samudera.

Petualangan adalah mimpi-mimpi yang berjalan, kebersamaan adalah bunga yang menghiasinya. Walau bukan menjadi sebuah Babad Blambangan, paling tidak cerita perjalanan kita akan menjadi renungan, renungan untuk kita dan bangsa ini. Dan selama ribuan langkah kaki kita berjalan, paling tidak kita telah berbuat satu hal kecil untuk bangsa ini, belajar dan bersyukur. Selamat ulang tahun Indonesia.

Melbourne, 17 Agustus 2014 

Thursday, August 14, 2014

WHV 14 (Farm Here I am)

Previous here

Mungkin ini akan jadi kunjungan terakhir saya untuk WHV Australia. Saya tinggalkan rumah tanggal 8 Agustus, esok harinya saya terbang ke Singapura untuk mengantar 4 orang kawan yang sedang menggelar trip 3 negara. Saya antar mereka sampai Singapura saja, saya tinggalkan selanjutnya mereka di Malaysia dan Thailand. Giliran saya ke Australia untuk menghabiskan masa terakhir sebulan saya ber WHV ria di negeri kangguri ini.

Saya tiba di Melbourne tanggal 11 Agustus 06.00 WIA. Tebak dimana kali ini saya akan menginap? Yak! Dimana lagi kalau bukan di rumahnya mbak Ana Marliana. Saya langsung menuju rumahnya. Nadine sudah tumbuh lebih besar! Dia bisa ngomong!!!! Whuaaaa, senangnya saya! Dia sudah bisa menyebut nama-nama binatang kesayangannya dan minta permen :p

Kali ini saya menginap satu malam saja, esoknya saya langsung ke Mildura melanjutkan misi terakhir di kebun sayur asparagus, the packing man!

NEXT: WHV 15

Monday, July 28, 2014

Orde Ied Mubarak

“Mandi pagi di pinggir kali

Hari ini Idul Fitri

Blimbingsari di Banyuwangi

Adi di hati maaf dinanti”


Selamat hari raya Idul Fitri untuk seluruh keluarga muslim di dunia

Photos here

WHV 13 (Ops I Home Sick Again)

Previous post here

Saya pulang lagi ke Indo. You know what? Terbang dari Darwin ke Bali lebih singkat dari perjalanan Banyuwangi-Jember. Tak lebih dari 2,5 jam saya tiba di Denpasar. Keesokan Paginya saya lanjutkan penerbangan Denpasar-Banyuwangi.

Kali ini saya pulang lebih lama dari biasanyaa, 2 bulan. Saya berangkat ke tanah suci menjalankan ibadah sunah Umroh sampai pertengahan Ramadhan, kemudian menjalankan tradisi spiritual, menghabiskan Ramadhan dan ber Idul Fitri ria bersama sanak famili dan kerabat di Banyuwangi. Assooyyyyy


As usual, selalu ada tamu istimewa di hari raya, rumah kami selalu kedangan bule asing dari luar negeri *dimana-mana yang namanya bule asing itu luar negeri!








Sunday, April 20, 2014

WHV 12 (Home Sick Home)

Previous post here

2 April 2014

Saya pulang.
Kehidupan kota dan desa di Australia beda. Di desa, orang berjalan lebih santai. Jalanan di desa panjang dan sepi, di kiri kanan jalan pohon, hutan, ladang dan kebun, seringkali kanguru melintas. Di kota waktu berjalan lebih cepat, manusianya juga berjalan cepat. Di kota lebih banyak taman dan gedung pencakar awan. Lebih sering macet jadi kangurupun males mau nyebrang. Tapi di desa dan kota bahasa mereka masih sama, bahasa Inggris* ya iyalah ndro!

Saya pulang Indo karena kangen rumah. Dua minggu di kampung cukuplah mengobati rindu keluarga. I came back to OZ pertengahan April. Masih sama, petik anggur. Kali ini musim dingin berubah jadi musim setengah salju. Saya yang tak kuat dingin terpaksa pindah tempat cari yg lebih hangat. At last, Mei saya hijrah ke ibukota negara bagian utara, Darwin. Pengennya sih mengusir dingin, eh yang ada malah kepanasan *ampyun!


Darwin, salah satu kota unik di Aussie karena musimnya tak sama dengan kota lain. Darwin sama dengan kampungku, malah lebih panas dan kemringet kalau pas summer. Sebulan di Darwin saya bekerja di kebun timun (tanam, semai, panen, dan semprot). Sumpeh ndro, muka gue bener2 mirip ama gambar pak tani indo yang ada di karung beras lu ndrooo.

NWXT: WHV 13

Monday, February 10, 2014

WHV 11 (In a Vineyard)

Previous post here

Dua bulan di kebun sayur rambut saya jadi keriting karena kebanyakan duwit, haha. Akhirnya saya dan sodara saya pindah ke Robinvale, kebun anggur. Pengalaman baru euy... petik anggur. Satu box harus saya isi dengan 10 kg buah anggur untuk mendapatkan 2 dolar (Rp 20rb). Tergantung buah, kalo pas oke, bisa dapat 80-100 box. Rata-rata 50 box per hari. Kalau hujan? Sorry, no job available, mate!

NEXT: WHV 12

Friday, January 10, 2014

SEASON 5 Chapter 10 (Mekong di Timur Laut Thailand)

Previous post here

Dari kerajaan Kamboja ke Kerajaan Thailand meninggalkan jejak romantis di ujung Khaosan. Namun perjalanan saya tak henti disini. Thailand memang tak pernah jemu untuk dijelajahi dan selalu menggoda hasrat wisata. Perbatasan dataran tinggi du bagian utara menyajikan pesona tersendiri. Bukan Chiang Mai yang saya akan telusuri kali ini, akan tetapi provinsi kecil yang jauh dari capaian turis awam, Nakhon Phanom dan Nong Khai di perbatasan.

Saya satu-satunya penumpang Thai Air Asia berkebangsaan non-Thai yang terbang menuju Nakhon Phanom. Setiba di bandara mata saya bingung mencari-cari tulisan bahasa inggris untuk pool damri. Seperti lumrahnya bandara di kota-kota lain, seharusnya bandara ini memiliki pool damri yang mengantarkan penumpang ke titik-titik di pusat kota. Namun tidak demikian untuk Nakhon Phanom. Bandara mungil ini tergolong “belum dewasa” dari segi fasilitas. Akhirnya saya dipersilakan membeli tiket minivan untuk menuju pusat kota. Saya tak memiliki draft itinerary untuk menghabiskan hari disini. 

Sepanjang perjalanan dalam minivan saya coba mengobrol dengan semua penumpang berharap dapat informasi terkini dari mereka seputar tempat menarik yang bisa saya kunjungi disini. Hasilnya NOL BESAR. Namun akhirnya saya dapat referensi dari pak sopir penginapan murah dekat sungai mekong. Oke, I take it!


Setelah cek in, saya langsung menghabiskan sore di sepanjang sungai mekong. Kehidupan ekosistem mekong inilah satu-satunya yang menarik saya untuk dinikmati sampai larut malam ditemani seonggok jagung bakar. 

Monday, January 6, 2014

SEASON 5 Chapter 9 (Are You Local?)

Previousa post here

Pagi ini saya jogging keliling Khaosan. tumben pagi pagi betul saya sudah siap fisik. haha, iya. Saya ingin cari ketan ireng yang dijual dipinggir jalan. 


Memang benar. Cara paling asek untuk menikmati perjalanan adalah terlibat dengan orang sekitar. Karena saya tidak sempat terlibat pagi ini, saya berlagak seperti orang sekitar, jogging. Tak ada yang tahu kok kalau saya bule dari Jawa. Wajah saya universal. Disini saya dibilang orang Thailand, di Jepang juga mereka sangka saya adalah adik Yahsiro, malah di Saudi saya dikira syeikh Usman. 

Hampir sejam saya jalan pagi ini, saya coba ikut duduk dan nimbrung dengan para tetangga di warung mbak jum. Sarapan nasi campur pake kulup terong lumayan enak tenan.

Siang saya bergegas cek out karena harus bergegas ke bandara. Iseng naik bus, seorang ibu di sebelah tertarik mendengar cerita traveling saya. Dia seorang guru, punya anak seumuran saya dan ingin anaknya bisa belajar dengan cara traveling, mengenal dunia dan bertemu orang-orang baru. Saya bertukar email dengan sang ibu dan berpisah. Saking maremnya mendengar cerita saya, pagi ini saya ditraktir tiket bis olehnya. Hmmmm, lumayunnnn

Sebentar lagi tiba di bandara. Sengaja saya ingin coba penerbangan domestik di luar negeri. Iya, ini yang kedua kali saya alami, naik penerbangan domestik di luar negeri, setelah Jepang. Tujuan saya adalah Nakhon Phanom * ah, nama daun apa itu???

NEXT: SEASON 5 Chapter 10